Oleh I Komang Warsa
Profesi guru adalah profesi mulia untuk mencerdaskan anak negeri. Profesi guru bukanlah profesi yang berafiliasi dengan politik, apalagi menjadi dongkrak politik, bukan juga dongkrak kekuasaan. Profesi guru dicetak dari lembaga khusus yang beratapkan karakter mendidik dan lahir dari panggilan hati nurani keikhlasan sebagai wujud profesionalisme.
Semestinya realitas profesi guru terbebas dari tekanan dan intimidasi dalam mendidik anak bangsa. Inilah kata-kata yang cocok untuk mengungkapkan kerisauan guru ketika memperingati Hari Guru ke-75 sembari menunaikan tugas sebagai pencerdas bangsa.
Profesi guru merupakan suatu pekerjaan yang didasari kasih dan humanis agar melahirkan anak bangsa yang beradab. Guru bekerja semestinya tanpa beban secara psikologis, ibarat ibu yang sedang hamil jika banyak tekanan psikologis akan berpengaruh terhadap janinnya. Akan tetapi, profesi guru selalu menjadi bulan-bulanan politik dan birokrasi politik karena dampak dari politik demokrasi langsung, ironis.
Pergulatan kekuasaan di arena jagat politik sebagai peranti demokrasi serasa tidak pernah kering dari retorika masyarakat demokrasi. Akibat keterlenaan ini terkadang melupakan profesi guru dari keadaban sebagai bentuk perlindungan. Retorika politik memang indah untuk diwacanakan tetapi terkadang menyakitkan jika diperdebatkan, apalagi profesi guru dipetarungkan/dipertaruhkan seperti layaknya arena judi. Ending politik dalam jagat demokrasi tidak selalu berbuah manis seperti harapan semua orang. Politik bukan seperti obat tablet, pahit ditelan tetapi akhirnya menyembuhkan dan indah pada waktunya.
Masyarakat tidak terkecuali guru terkadang menjadi korban kegelisahan dari gilasan politik. Menu politik memang kadang menyenangkan, menyehatkan kadang juga menyesatkan. Betapa tidak, banyak keluh-kesah dari kalangan guru sampai masyarakat kelas intelektual terkadang fobia dengan istilah politik.
Kalangan politikus ada titik kejenuhan dalam berpolitik maka tidak jarang politikus gantung baju politik jika politik dirasa tidak nyaman, tidak beretika dan tidak bermartabat. Tidak terkecuali guru sebagai pemilih, juga merasa apatis terhadap politik karena dirasakan politik sebagai pemarginalan profesi guru. Sejatinya, harapan guru sebagai sebuah profesi, politik bisa membuat sejahtera dan tenang, bisa membuat lebih nyaman dan aman bahkan harapanya guru terlindungi dari politik. Undang-undang mensyaratkan guru sebagai ASN ada satu larangan untuk terlibat dalam kancah jagat politik di negeri demokrasi Pancasila. Posisi guru sebagai suatu profesi merupakan pilihan sulit dan berdiri di ambang batas keraguan, ibarat makan buah simalakama. Undang-undang yang mengatur merupakan bagian dari produk hukum untuk melegalkan atas nama konstitusi dan bukan atas nama kekuasaan.
Produk hukum itu sendiri bagian dari produk politik. Setiap produk politik mengandung agenda politik yang tersembunyi di dalamnya (hidden political agenda). Jagat demokrasi yang memformat aturan profesi guru dengan payung undang-undang, tanpa disadari atau memang diformat untuk menjadikan abu-abu alias hak politik yang semu bagi guru untuk meramaikan panggung demokrasi. Buktinya, guru juga (terkadang) terseret ke panggung politik dan ujung-ujungnya menjadikan guru bekerja penuh kecemasan dan ketakutan. Ketika guru dalam bekerja penuh kecemasan dan ketakutan dan tanpa ada kepastian hukum sebagai bagian dari perlindungan guru maka harapan guru mengajar dengan hati akan sirna.
Jargon merdeka mengajar menjadi celotehan belaka jika proteksi guru dalam profesi abu-abu. Dramatugik politik selalu merembes dalam skenario pembelajaran guru di rumah pendidikan yang disebut sekolah. Semua itu memunculkan satu retorika di kalangan guru yakni mendukung salah, tidak mendukung juga salah. Jika mendukung incumbent dan kalah maka karier hancur, kalau tidak mendukung incumbent dan terpilih kembali, karier juga hancur, serta bersikap netral terkadang juga dikatakan tidak berkeringat dalam pertarungan politik, ironis.
Guru mesti terbebas dari klimak alur drama politik agar tercipta suasana mengajar di kelas adalah suasana yang penuh kedamaian, penuh keterbukaan, dan penuh keriangan untuk menciptakan pembelajaran yang manusiawi. Sekolah bukan tempat robot-robot manusia, bukan tempat orasi politik, dan bukan juga tempat memenjarakan pelanggar pemartabatan manusia. Sekolah adalah rumah pendidikan untuk memanusiakan manusia menjadi manusia yang manusiawi. Jangan sampai sekolah kehilangan roh dan makna.
Belum lagi guru ditekan oleh masyarakat dalam menjalankan tugas profesinya. Buktinya ada beberapa guru menjadi korban anomali dari perilaku siswa dan masyarakat. Seperti ada guru yang dianiaya oleh siswa atau masyarakat, ada yang dipukul sampai meregang nyawa, dan masih banyak cerita-cerita pilu yang dialami oleh pahlawan tanpa tanda jasa di republik ini.
Akan tetapi sampai sekarang bentuk perlindungan guru terkadang sebatas wacana dan bahkan selalu menyudutkan guru. Guru bekerja bukan sebagai penopang (dongkrak) politik kekuasaan semata seperti layaknya dongkrak sebuah mobil ketika tidak diperlukan disimpan begitu saja. Bisa mengangkat beban yang berat tetapi tetap bekerja di bawah satu tekanan dari kekuasaan yang menguasai.
Kekuasaan adalah amanah yang harus dijalankan dengan rujukan konstitusi. Jika kekuasaan yang dipenuhi hasrat untuk berkuasa, menguasai menjadi tuan dari kuasa adalah awal dari sebuah keruntuhan. Guru bukan budak kekuasaan dan bukan juga dongkrak kekuasaan. Guru adalah perpanjangan tangan dari kekuasaan bermartabat. Profesi guru bukan budak masyarakat yang bekerja sesuai dengan kehendak masyarakat, tetapi guru bekerja sesuai dengan kehendak amanat undang-undang sebagai amanah. Guru perlu mendapat perlindungan ketika harus menjalankan amanat undang-undang. Karena apa yang dilakukan guru di sekolah bagian dari proses pendidikan.
Penulis, Guru Ajeg Bali 2019, mengajar di SMAN 1 Rendang