Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Pandemi Covid-19 seakan mengingatkan segenap krama Bali akan pentingnya kemandirian ekonomi Bali. Selama ini, tanpa sadar kita telah menyandarkan ekonomi Bali sepenuhnya kepada industri pariwisata sejak dasawarsa 90-an. Sejak itu pariwisata menjelma menjadi panglima ekonomi Bali yang menguasai sekitar 70 persen detak ekonomi krama Bali.

Kita seakan lupa bahwa krama Bali pada galibnya mewarisi tradisi ekonomi kebudayaan sebagai local wisdom nenek moyang krama Bali. Perekonomian Bali tidak boleh dibangun dengan teori ekonomi Barat semata. Harus ada landasan budaya dalam setiap degup ekonomi Bali sesuai struktur sosial-budaya krama Bali, sebagaimana selama ini berlangsung melalui geliat bertani dan seni-budaya Bali.

Tentu kita masih ingat dengan sejarah latar belakang pendirian Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta Timur. TMMI yang digagas oleh Ibu Negara Tien Soeharto pada 13 Maret 1970 dan resmi dibuka pada 20 April 1975 tersebut, menempati kawasan seluas 150 hektar atau 1,5 km2. TMII dimaksudkan sebagai suatu kawasan rekreasi yang sekaligus menggambarkan rangkuman inventarisasi kekayaan sosial-budaya bangsa Indonesia.

Upaya melakukan inventarisasi warisan kebudayaan Bali masa lalu yang diintegrasikan dengan kebutuhan pengetahuan dan teknologi masa kini dan masa yang akan datang, juga menjadi latar belakang pembangunan kawasan Pusat Kebudayaan Bali di Klungkung. Konsep pembangunan ini juga dimaksudkan agar nilai-nilai luhur budaya Bali dapat diwariskan secara berkelanjutan.

Baca juga:  Parpol, Korupsi, dan Peradaban

Berbeda dengan TMII yang menempati lahan yang sebelumnya merupakan permukiman penduduk, Pusat Kebudayaan Bali dibangun dengan memanfaatkan lahan terbengkalai bekas galian C, compang-camping, magaburan, demikian istilah Gubernur Bali Wayan Koster sebagai penggagas berdirinya Pusat Kebudayaan Bali. Melalui Pusat Kebudayaan Bali akan ditampilkan sebuah pusat rekreasi budaya yang memadukan unsur edukasi-konservasi dengan model pembangunan yang ramah lingkungan, berkelanjutan dan terintegrasi, dengan berbasis teknologi inforrmasi (TI). Diharapkan di atas lahan seluas 334,65 hektar akan berdiri pusat kebudayaan sekaligus pusat ekonomi baru bagi Bali.

Nilai Luhur Budaya Bali

Pusat Kebudayaan Bali diharapkan ikut menjadi sarana dalam mewariskan nilai-nilai luhur budaya Bali secara berkelanjutan. Pengenalan sejarah sosial-budaya Bali dalam kawasan Pusat Kebudayaan Bali akan menjadi cermin segenap pengunjung — utamanya krama Bali — dalam memahami kemandirian sosial, ekonomi, dan budaya Bali.

Konsep penataan ruang kawasan Pusat Kebudayaan Bali disusun dengan kerangka dasar Sat Kerthi sesuai visi pembangunan Bali Era Baru ‘’Nangun Sat Kerthi Loka Bali’’. Kawasan pusat kebudayaan tersebut akan terdiri dari beberapa kawasan. Kawasan Wana Kerthi akan berisi hutan dan taman rekreasi. Pada kawasan Danu Kerthi akan dibangun danau dan estuary dam.

Baca juga:  "Hoax” dan Propaganda Politik

Sementara kehadiran catus pata akan dibangun dalam kawasan Atma Kerthi. Sedangkan kawasan Jagat Kerthi akan berisi panggung pertunjukan dan area pertunjukan lainnya. Kawasan Jana Kerthi menjadi kawasan pusat kebudayaan Bali serta area pendukung seperti hotel dan apartemen. Marina dan fasilitas laut lainnya akan dibangun dalam kawasan Segara Kerthi.

Bukan kebetulan jika Pusat Kebudayaan Bali dibangun di wilayah Klungkung. Karena sejarah kebudayaan Bali memang terpusat di Klungkung pada masa keemasan Raja Gelgel Dalem Waturenggong. Sedangkan kawasan seluas lebih dari 300 hektar tersebut berada dalam bentang nyegara gunung. Pusat Kebudayaan Bali juga sepenuhnya merupakan karya krama Bali, serta diperkirakan akan menyerap 12.000 tenaga kerja krama Bali setempat.

Pelestarian dan pewarisan nilai luhur budaya Bali memang menjadi kunci dalam meneguhkan kembali kemandirian ekonomi Bali. Melalui kehadiran Pusat Kebudayaan Bali itu nantinya diharapkan generasi krama Bali mendatang dapat memahami keteguhan para leluhur mereka dalam membangun perekonomian Bali yang mandiri. Tidak tergantung pihak luar.

Baca juga:  Melawan Bius Kota

Perekonomian pada dasarnya sudah setua umur peradaban manusia itu sendiri. Ketika manusia tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya secara mandiri, maka dimulailah mekanisme tukar-menukar barang. Sampai pada akhirnya menggunakan uang sebagai alat tukar barang kebutuhannya, seperti saat ini. Pembangunan ekonomi esensinya adalah menumbuhkan pendapatan masyarakat yang pada akhirnya akan menghasilkan perubahan budaya dan struktur sosial masyarakatnya. Sehingga pembangunan ekonomi tidak dapat dilakukan dengan mengabaikan perilaku budaya masyarakat. Manajemen perubahan struktural ekonomi masyarakat Bali harus menjadi perhatian para penentu kebijakan pembangunan Bali. Hal ini merupakan bagian dari risk management (manajemen risiko) yang harus disiapkan Bali.

Kearifan lokal (local genius) krama Bali merupakan intangible heritage yang dapat menjadi modal sosial cukup besar dalam membangun kemandirian ekonomi Bali. Sikap komunal penuh kemitraan dalam balutan tatanan anatomi tradisi sosial-budaya krama Bali mencerminkan modal sosial tersebut dalam aura semangat manyamabraya. Semangat ini diperlukan dalam membangun ekonomi mandiri yang berkarakter kemitraan, bukan persaingan.

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *