DENPASAR, BALIPOST.com – Pandemi Covid-19 sangat berdampak pada sektor ekonomi Bali. Terlebih, ekonomi Bali sangat bergantung pada sektor pariwisata.
Ketika sektor ini lumpuh, ekonomi Bali pun kolaps. Banyak daerah di Bali, terutama yang mengandalkan sektor pariwisata sebagai aset pendapatan kehilangan pendapatan daerahnya.
Untuk bisa menjaga pendapatan daerah di tengah pandemi COVID-19 ini, Pemerintah Provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di Bali melakukan berbagai cara agar pendapatan asli daerah tetap bisa dicapai untuk kelangsungan pembangunan. Kepala Bappenda Provinsi Bali, I Made Santha, mengakui akibat pandemi Covid-19 pendapatan asli daerah (PAD) Provinsi Bali mengalami penurunan.
Dikatakan, pada triwulan I (Januari-Maret) PAD Bali berada pada standar normal, karena pertumbuhan ekonomi Bali masih stabil. Namun, pada triwulan II pertumbuhan ekonomi Bali sudah terkontraksi hampir mendekati -3 %.
Bahkan, pada Triwulan III kontraksi pertumbuhan ekonomi Bali tertinggi di Indonesia, yaitu mencapai -12 %. Hal ini disebabkan karena tidak adanya wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Bali.
Sebab, lokomotif ekonomi Bali tergantung pada sektor pariwisata. Kontraksi pertumbuhan ekonomi inilah yang menyebabkan PAD Bali yang bersumber dari pajak kendaraan bermotor mengalami penurunan dari target yang dicanangkan.
Padahal, wajib pajak kendaraan bermotor sangat berpartisipasi dalam pembangunan Bali. “Pada perencanaan awal tahun 2019, PAD kita pasang di angka Rp 3,7 triliun, tetapi karena ada kondisi pandemi Covid-19 diluar dugaan kita, sehingga PAD kita dirasionalisasi lagi menjadi Rp 3,4 triliun. Namun, karena kita belum tahu kapan pandemi ini akan berakhir, sehingga akan terus berpengaruh terhadap PAD kami,” tandas Made Santha pada Fokus Group Discussion (FGD) Tanggap Covid-19 “Strategi Menjaga PAD di Masa Pandemi” di Warung 63 Denpasar, Rabu (2/12).
Oleh karena itu, Gubernur Bali mengeluarkan kebijakan strategis berkaitan dengan pajak daerah, khusunya pajak kendaraan bermotor. Pertama, Pergub Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penghapusan atas Keringanan Administrasi, baik denda maupun bunga BBNKB dan PKB mulai 21 April sampai 28 Agustus 2020.
Kebijakan ini kemudian diperpanjang hingga 18 Desember 2020 mendatang karena pandemi Covid-19 masih fluktuatif.
Kebijakan kedua, yaitu kebijakan pembebasan pokok BBNKB II untuk kendaraan bekas. Kebijakan ini merupakan kebijakan pertama dilakukan Pemprov Bali. Kedua kebijakan ini direspons sangat tinggi oleh masyarakat.
“Kebijakan pertama, hingga 30 November 2020 direspons oleh 488 ribu yang memanfaatkan kebijakan pemutihan ini. Jumlah nominalnya Rp 290miiliar lebih. Kebijakan kedua pembebasan pokok BBNKB II diapresiasi dan diikuti oleh masyarakat jumlahnya 19 ribu, dengan perolehan pendapatan Rp16 miliar lebih. Ini artinya, di tengah-tengah kontraksi pertumbuhan ekonomi, kedua kebijakan ini diapresiasi oleh masyarakat,” tegasnya.
Kabid Penagihan Bappenda Kota Denpasar, Made Rai Edi Mulyawan juga mengaku hal yang sama. Bahkan, karena pandemi Covid-19, terget PAD awal dari pajak darrah dipangkas 50 persen.
Untuk bisa mencapai target 50 persen tersebut berbagai strategi telah dilakukan. Salah satunya melalui kebijakan Wali Kota Denpasar terkait relaksasi penundaan jatuh tempo pembayaran pajak.
Masa pajak April, Mei, dan Juni boleh dibayar pada Juli sekaligus. Hal ini dilakukn agar wajib pajak bisa diringankan, sehingga tidak harus menutup permanen usahanya. Terutama pajak hotel dan restoran.
Apalagi, masih ada wisatawan asing yang menginap di Kota Denpasar. “Terget pajak tahun ini Rp448,4 miliar (setelah diturunkan-red) dan sampai bulan kemarin (Nopember-red) sudah tercapai 98,9 persen. Kita kejar satu bulan ini untuk berusaha penuhi,” ujar Made Rai. (Winatha/balipost)