dr. Elizabeth Jane Soepardi, MPH, DSc. (BP/iah)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pandemi COVID-19 yang masih berlangsung setelah 9 bulan membutuhkan upaya terus menerus untuk menghentikannya. Termasuk, penerapan protokol kesehatan 3M (memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, dan menjaga jarak). Kini, dengan adanya vaksin COVID-19, harapan untuk memutus mata rantai penyebaran virus ini makin tinggi.

Menurut seorang ahli Imunisasi, dr. Elizabeth Jane Soepardi, MPH, DSc, dalam Dialog Produktif Rabu Utama dengan tema “Siapkan Kedatangan Vaksin,” yang disiarkan kanal YouTube FMB9ID_IKP, COVID-19 merupakan penyakit baru yang perlu dikenali. Jika sudah dikenali, bandingkan dengan penyakit yang sudah dikenal. Misalnya campak.

Campak itu, kata dr. Elizabeth, sebelum ada vaksinnya merupakan pembunuh terbesar. Tapi sekarang, campak itu dianggap penyakit yang tidak mematikan padahal ada juga dampaknya yang membahayakan jika vaksinasi tidak dilakukan. “Campak maupun cacar air sekali kita kena, tidak akan kena lagi. Tapi dampak panjangnya itu yang ditakutkan,” jelasnya.

Baca juga:  Hingga Akhir 2022, Puluhan Juta Dosis Vaksin COVID-19 Masih akan Diterima

COVID-19 pun dikhawatirkan seperti itu. Dari beberapa testimoni, meski sembuh ada gejala yang menetap. Misalnya ada yang mengalami sesak nafas menetap, kebotakan, gangguan mental, dan gigi membusuk. “Jangan sampai kita mengambil risiko. Lebih baik jangan kena,” tegasnya.

Dikatakan jika sudah kena COVID-19, akan memperoleh kekebalan alamiah. Tapi hal itu belum tentu terjadi sebab ada sejumlah penderita COVID-19 yang kembali tertular setelah dinyatakan sembuh.

Hal ini relevan dengan adanya beberapa penyakit yang tidak menimbulkan kekebalan alamiah, misalnya tetanus dan difteria. “Jadi untuk penyakit ini harus dihindari dengan kekebalan buatan, yaitu vaksin,” jelasnya.

Baca juga:  Vaksin AstraZeneca Kembali Tiba, Masyarakat Diminta Sukseskan Ikhtiar Vaksinasi

Pembuatan vaksin, umumnya rata-rata 10-15 tahun bahkan bisa sampai 30 tahun. Tapi, untuk COVID-19 tidak bisa menunggu selama itu sehingga dipercepat. “Tapi bukan berarti asal-asalan. Seluruh tahapannya harus dilalui,” paparnya.

Vaksin itu tidak bisa dijamin 100 persen keampuhannya. Sehingga protokol kesehatan tetap harus dijaga.

Idealnya satu kali saja disuntikkan. Tapi saat ini, rata-rata produk vaksin yang ada membutuhkan dua kali pemberian. “Kita belum tahu berapa lama masa bertahannya. Karena masih dalam pemantauan,” sebutnya.

Terkait Prokes, ia mengatakan bahwa tahapan itu diperoleh dari WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), jadi tidak asal-asalan dan sudah diteliti secara ilmiah. Berdasarkan penelitian ilmiah, bebernya, jika tidak menggunakan apa-apa (tanpa pencegahan), kemungkinan 100 persen tertular. Sedangkan cuci tangan dengan sabun bisa mengurangi risiko penularan hingga 35 persen.

Baca juga:  Sikapi Meningkatnya Kasus DBD, Bupati Gede Dana Lakukan Fogging dan PSN

Jika menggunakan masker biasa (kain), risiko penularan berkurang 45 persen. “Pakai masker medis 70 persen. Jaga jarak minimal 1 meter risikonya turun 85 persen. Dengan menerapkan ketiganya risiko penularan akan makin turun lebih banyak,” jelasnya.

Dalam kalkulasi, kapasitas produksi vaksin di dunia tidak akan cukup untuk seluruh penduduk. Oleh karena itu prokes 3M harus tetap dijalankan hingga vaksin datang. “Bahkan setelah diimunisasi pun, jangan merasa terlindungi 100 persen. Menggunakan masker dan mencuci tangan sepertinya harus terus dilakukan ke depannya. Kebiasaan seperti itu, mungkin kita harus budayakan,” tutupnya. (Diah Dewi/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *