Gubernur Koster saat hadir langsung dalam penentuan harga tanah di Balai Budaya Ida Dewa Agung Istri Kanya. (BP/Gik)

SEMARAPURA, BALIPOST.com – Tim Appraisal Independen, akhirnya membuka harga yang diberikan kepada pemilik tanah di eks galian C Klungkung, dimana lahannya digunakan sebagai lokasi Kawasan Pusat Kebudayaan Bali. Tim Appraisal atau Tim Penaksir Harga Independen memutuskan harganya Rp 22,5 juta per are. Penentuan harga tanah warga pertama untuk pembangunan pengendalian banjir Tukad Unda, dilakukan melalui musyawarah dengan para pemilik tanah di Balai Budaya Ida Dewa Agung Istri Kanya, Klungkung, Kamis (3/12).

Proses musyawarah ini berlangsung alot. Bahkan, dihadiri langsung Gubernur Bali Wayan Koster. Gubernur Koster kembali menyampaikan gambaran besarnya terhadap pembangunan Kawasan Pusat Kebudayaan Bali ini. Dia tegas mengatakan tidak boleh ada pihak-pihak yang berniat tidak baik dalam proses pembangunannya. Maka, khusus untuk pembebasan tanah pun, pihaknya melibatkan Tim Appraisal, sesuai amanat undang-undang. “Makanya, tidak boleh ada intervensi dari pihak manapun. Bahkan, saya sendiri. Penentuan harganya ini tentu dilakukan dengan berbagai pertimbangan,” katanya.

Baca juga:  Jelang Nataru, Harga Minyak Goreng dan Cabai Melonjak

Gubernur Koster mengaku harus meminta pertimbangan hukum dari Kejati Bali berupa LO (Legal Oponion), sebelum memutuskan harga tanah akan disamakan. Sementara mengenai nilainya diserahkan sepenuhnya kepada Tim Appraisal. Dari LO tersebut, pihaknya menegaskan tidak ada aturan hukum yang dilanggar. Selain itu, sejumlah pertimbangan lainnya kenapa harga tanah akan disamakan, yakni lahan di lokasi setempat sudah tak produktif, seluruh lahan berupa hamparan, tidak ada tampak depan atau tampak belakang.

Baca juga:  Di Buleleng, BBPOM Juga Temukan Makanan Ber-Rhodamin

Tim Appraisal Ni Made Candra Kasih, menyampaikan kepada para pemilik tanah bahwa metode yang dipakai dalam menentukan harga adalah metode pasar. Metode pasar memperlihatkan bahwa tanah yang dibebaskan lokasinya jauh lebih rendah dari jalan raya. Selain itu, tanahnya juga tidak produktif, tidak ada bangunan, tidak ada aktivitas dan sebagian besar tidak memiliki legalitas seperti tidak adanya sertifikat. Sehingga ini membuat lokasi tanah transaksinya. “Terlebih, lokasi tanahnya merupakan alur lahar, ketika terjadi Gunung Agung,” katanya.

Candra Kasih langsung menyampaikan harganya Rp 22,5 juta per are. Sebagian besar pemilik lahan menyatakan setuju, karena selama ini tanah setempat memang sulit ditransaksikan. Karena sudah disepakati, maka harganya ditetapkan Rp 22,5 juta.

Baca juga:  Rumah Warga Desa Ringdikit Tertimbun Longsor

Klian Subak Tangkas dan Pegoncangan, Nengah Wija menyampaikan setelah penetapan harga, masih ada persoalan lain yang perlu kebijakan pemerintah. Sebab, saat proses pensertifikatan melalui Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), tanah warga khususnya di Subak Tangkas dan Pengoncangan sudah dipotong 18 persen oleh pihak BPN. Maka, pihaknya meminta kebijakan Gubernur Koster, agar tanah warga yang dipotong 18 persen bisa dikembalikan.

Terkait aspirasi ini, Gubernur Koster menyatakan akan segera membahasnya dan mencarikan solusinya sesuai skema perundang-undangan. Yang jelas untuk harga tanah per are Rp 22,5 juta, sudah ‘ketok palu’. Tidak bisa lagi diutak-atik. (Bagiarta/Balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *