BANGLI, BALIPOST.com – DPRD Bangli memutuskan akan mengkonsultasikan ke pemerintah pusat terkait Permendagri Nomor 64 Tahun 2020 tentang pedoman penyusunan RAPBD 2021. Hal itu dilakukan untuk menyelesaikan adanya perbedaan pandangan yang belakangan ini terjadi di internal dewan soal batas waktu penetapan RAPBD 2021.
Adanya rencana konsultasi itu disampaikan langsung Ketua DPRD Bangli I Ketut Suastika saat memimpin rapat kerja di dewan, Kamis (3/12). Rapat dengan agenda pembahasan RAPBD 2021 itu mengundang lima OPD yakni Dinas PUPRPerkim, Dinas Penanaman Modal, BKPAD, Badan Kepegawaian Daerah serta Dinas Satpol PP dan Damkar Bangli.
Awalnya saat rapat dimulai, Anggota DPRD Bangli I Nengah Darsana mengusulkan ke pimpinan rapat untuk meminta pendapat hukum dari Kabag Hukum Setda Bangli berkaitan dengan mekanisme, proses RAPBD sebagaimana yang diatur dalam Permendagri 64. Sebab dari awal, dirinya menilai jadwal pengesahan RAPBD 2021 yang telah ditetapkan Badan Musyawarah (bamus) pada 17 Desember, tidak sesuai dengan ketentuan Permendagri.
Menurutnya, sesuai Permendagri seharusnya pengesahan RAPBD paling lambat dilakukan satu bulan sebelum dimulainya tahun anggaran baru atau 30 November. “Sehingga kami mohon agar minta pendapat hukum supaya klir dan terang benderang. Kalau sudah klir, kami tidak akan ada lagi perasaan waswas dan kami bisa fokus membahas ke substansi materi APBD ini,” kata Darsana.
Permintaan Darsana itu langsung direspons pimpinan rapat dengan menghubungi langsung Kabag Hukum Nasrudin untuk hadir dalam rapat. Dihadapan anggota dewan Nasrudin kemudian menjelaskan mengenai pedoman penyusunan RAPBD 2021 sebagaimana yang diatur dalam Permendagri 64.
Disebutkan bahwa DPRD dan kepala daerah yang tidak menyetujui bersama Rancangan peraturan daerah APBD satu bulan sebelum dimulainya tahun anggaran dikenakan sanksi administrasi. Berupa teguran tertulis dan/atau sanksi sanksi adminstrasi berupa tidak dibayarkannya hak keuangan selama enam bulan. Sesuai peraturan perundang-undangan.
Disampaikan juga bahwa sanksi tidak dapat dikenakan kepada anggota DPRD apabila keterlamatan persetujuan terhadap RAPBD disebabkan oleh kepala daerah yang terlambat menyampaikan rancangan APBD kepada DPRD dari tahapan dan jadwal sebagaimana yang tercantum dalam lampiran di Permendagri. “Mengenai penjatuhan sanksi, sesuai PP 12 2017 yang berwenang menjatuhkan sanksi di tingkat provinsi adalah Mendagri. Sedangkan pelanggaran administrative di kabupaten/kota yang berwenang menjatuhkan sanksi adalah Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah,” jelasnya.
Penjatuhan sanksi tidak serta merta dilakukan. Ada proses dan prosedurnya. Terlebih dulu akan dilakukan verifikasi secara teliti dan obyektif atas pelanggaran yang terjadi dengan mempelajari data dan informasi. “Jadi tidak serta merta. Ada prosesnya,” terangnya.
Dalam kesempatan itu Nasrudin pun menyarankan ke dewan sebaiknya agar mengkonsultasikan hal tersebut ke pemerintah atasan. Sehingga keragu-raguan atau kekhawatiran yang terjadi di dewan bisa jelas dan terang benderang.
Menanggapi penjelasan itu, Ketua Dewan Ketut Suastika mengatakan bahwa selama ini terdapat dua pandangan yang berbeda terkait batas waktu pengesahan APBD. Ada yang berpendapat APBD wajib ditetapkan 30 November.
Di sisi lain dia menyebut ada kewenangan DPRD membahas RAPBD 60 hari kerja sejak RAPBD diserahkan eksekutif.
Mengenai penjelasan Kabag Hukum Nasrudin, Suastika mengaku sepakat akan melakukan konsultasi langsung ke kemendagri. Sebab menurutnya proses penyusunan APBD tidak akan putus pada tahun ini saja tapi juga akan terus dilakukan di tahun-tahun berikutnya. (Dayu Swasrina/balipost)