SINGARAJA, BALIPOST.com – Usulan warga Catur Desa Adat Dalem Tamblingan memohon status Hutan Adat Mertajati di kawasan Danau Tamblingan dibahas dalam webinar digelar Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama), Sabtu (4/12). Pada intinya, perjuangan warga adat dari 4 desa meliputi Desa Munduk, Gobleg, Gesing, dan Desa Uma Jero itu langkah positif untuk menjaga kelestarian dan kesucian Hutan Mertajati sebagai sumber kehidupan bagi warga Buleleng dan Bali pada umumnya.
Webinar berjudul “Menatap Masa Depan Bali Dari Alas Mertajati” menghadirkan sejumlah narasumber. Yakni Sekretaris Jenderal Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) Anak Agung Gede Ngurah Ari Dwipayana, Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana (Unud) I Wayan Windia, dan Pengamat sosial dan pelestari Hutan Mertajati juga Ketua Tim 9 Catur Desa Adat Dalem Tamblingan Jro Putu Ardana.
Dalam pemaparannya, Ari Dwipayana mengatakan, pelestarian lingkungan, termasuk kawasan Hutan Mertajati di sekitar Danau Tamblingan merupakan hal penting. Keinginan warga adat mengusulkan agar Hutan Mertajati statusnya dijadikan hutan adat adalah hal positif.
Dengan cara itu, selain untuk menjaga kesucian hutan melalui perlindungan dan pengelolaan hutan, juga memberi kesejahteraan bagi masyarakat. “Konsep yang sudah dimimiliki, seperti menjaga harmoni dengan lingkungan, memuliakan air dan membangun harmoni dengan alam ini sudah tepat untuk menjaga kesucian dan menjadikan sumber penghidupan dari Hutan Mertajati,” katanya.
Sementara itu, Ketua Tim 9 Catur Desa Adat Dalem Tamblingan Jero Putu Ardana menyebutkan masyarakat adat dari empat desa di sekitar Danau Tamblingan dan kawasan Hutan Mertajati sedang berupaya memeroleh hak pengelolaan hutan di wilayah Danau Tamblingan. Alasan mengapa masyarakat setempat mengupayakan Hutan Mertajati menjadi hutan adat sehingga pelestarian dan pengawasan terhadap hutan dan ekosistemnya lebih konsisten.
Kalau status hutan adat itu disetujui, warga adat akan memiliki tanggung jawab moral dalam menjaga kelestarian hutan tersebut. Tanggung jawab ini karena kawasan Danau Tamblingan dan hutan di sekitarnya sejak turun temurun dijadikan sebagai kawasan suci dan sumber kehidupan.
Terkait tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, Jro Ardana menyebut hal itu dilakukan di luar kawasan. “Sejak kewenangan hutan itu diambil alih pemerintah, warga adat hanya bisa melapor kalau terjadi pelanggaran di sana. Kalau status hutan adat disetujui, warga adat memiliki tangung jawab moral menjaga kawasan yang disucikan itu sebagai sumber kehidupan,” katanya. (Mudiarta/balipost)