Oleh Kadek Suartaya
Bhisma adalah penegak kebenaran sejati. Walaupun fisiknya berada di pihak penganut kebatilan, namun batinnya seutuhnya diabdikan kepada kebajikan. Epos Mahabharata menuturkan, ketika terjadi perang saudara, Bharatayuda, Bhisma maju ke medan laga memimpin pasukan Korawa bertempur sengit melawan Pandawa.
Saat sekarat menjelang ajalnya di tanah Kuruksetra, tokoh-tokoh pihak yang diperanginya, Panca Pandawa (Yudistira, Bima, Arjuna, Nakaula dan Sahadewa) amat bersedih. Tubuhnya yang dihujam panah, terjengkang di atas bumi. Darahnya mengalir meniti tusukan ratusan panah namun matanya menerawang menyunggingkan senyum menuju kematian nan bahagia.
Sabtu malam lalu, 21 November 2020, kisah Bhisma, terutama kegagahperkasaannya menyongsong kematiannya yang tragis digambarkan dalam sebuah garapan seni pertunjukan di panggung terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Bali. Karya seni yang disuguhkan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar ini merupakan hasil kerja sama dengan Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Mumbai, India. Sajian seni pentas dengan penerapan protokol kesehatan Covid-19 ini, utamanya didedikasikan teruntuk penonton di India, secara live streaming. Kendati demikian, puluhan penonton bermasker juga diundang menyimak secara langsung pergelaran sendratari itu. Para penonton langsung dan penonton yang menyaksikan di panggung maya tersebut, pada klimaks karya pentas seni ini, disodorkan pesan moral, melalui nasihat Bhisma, di antaranya agar kita tetap tegar berjuang dalam kebersamaan, melawan segala malapetaka kehidupan.
Bhisma adalah tokoh sentral Mahabharata. Pada prolog sendratari ISI bertajuk ‘’Lembayung Kuruksetra’’ ini dilukiskan, kisah cinta Raja Sentanu dengan Dewi Gangga melahirkan seorang putra bernama Dewabharata. Sebagai putra mahkota Kerajaan Hastinapura, Dewabharata tumbuh menjadi ksatria berbudi dan mahir menggunakan beragam senjata perang. Nama Bhisma dianugerahkan para dewa karena keluhuran budinya dan baktinya kepada ayahnya. Suatu ketika, demi kebahagiaan serta hormatnya pada sang ayah, ia bersumpah tidak menjadi raja dan tidak kawin seumur hidupnya. Sumpah sakral Dewabharata ini adalah tuntutan Dewi Setyawati sebagai persyaratan kesediaannya menjadi permaisuri Raja Sentanu.
Sumpah Bhisma ini sungguh dikawalnya dengan ketat. Bagaimana Bhisma menahan gejolak asmara juga dihadirkan sekelebat, secara kilas balik, pada bagian tengah pentas insan seni ISI Denpasar yang berdurasi sekitar satu jam ini. Alkisah setelah memenangkan sebuah sayembara dengan memboyong tiga orang gadis, dua orang diperistri oleh saudara tirinya. Karena Bhisma memegang teguh sumpah tidak kawin, gadis ketiga, Dewi Amba, tak rela dicampakkan.
Amba tak mau peduli, ia terus menuntut Bhisma agar memperistrinya. Bhisma kehilangan kesabarannya dan tanpa sengaja melepas anak panah dari busur dalam genggamannya yang menghujam dada Dewi Amba dan tewas dengan rintihan kutuk untuk membunuh Bhisma di sebuah medan perang. Balas dendam antara desiran cinta dan kecamuk benci ini juga dilukiskan sendratari ini sebagai adegan pamungkas ambruknya Bhisma oleh panah Srikandi yang disokong oleh ratusan panah Arjuna.
Bhisma adalah negarawan teladan yang dikagumi, dipuji, disegani kawan dan lawan. Selain tak ingkar akan ikrarnya hidup selibat yang tak menikah selamanya, Bhisma tulus melepas haknya sebagai putra mahkota untuk menjadi Raja Hastinapura. Sebelum sumpah tidak kawin, oleh ayah Dewi Setyawati, Bhisma diminta bersedia melepas haknya sebagai raja. Demi ayahnya dan masa depan keutuhan negara, Bhisma mengikhlaskan, yang membuat Raja Sentanu serta para petinggi Hastinapura terharu.
Keikhlasan dan kearifan budi Bhisma ini semakin membinarkannya sebagai seorang resi, empu yang patut dijadikan panutan. Itulah sebabnya ketika Resi Bhisma hadir menjadi mahasenapati Korawa dalam Bharatayuda, Pandawa kecut dan sungkan. Pada babak awal sendratari ISI ini dilukiskan kegamangan Arjuna melepas senjata, loyo dan gontai tidak tega berperang dengan kakeknya, Resi Bhisma, yang sangat dihormati. Beruntung Kresna berhasil menggelorakan semangat Arjuna dengan lantunan nyanyian Tuhan, Bhagawad-Ggita.
Perang saudara Korawa versus Pandawa tak terhindari. Duryadana cs. sama sekali tidak menggubris nasihat Resi Bhisma agar mengembalikan hak-hak para Pandawa. Dituturkan oleh Bhisma bahwa tahta yang dikangkangi oleh anak-anak Drestarata akan membelah persaudaraan dan mengobarkan permusuhan yang membawa kehancuran pada kesatuan bangsa dan negara. Tetapi hasutan busuk Sakuni lebih berhasil meracuni sepak terjang sesat para Korawa. Kuasa tahta yang dibarengi dengan sifat tamak akan harta dari Duryadana dan konco-konconya, membuat mereka kian tak mempan dengan petuah dan ajaran moral dari Resi Bhisma. Meski demikian, kendatipun kearifan pandangan hidupnya hanya masuk kiri keluar kanan di telinga para Korawa, Bhisma tetap bersedia berperang, bertempur sebagai patriot negara, menyabung nyawa sebagai tumbal kebenaran.
Walaupun pementasan sendratari ISI itu hanya disaksikan secara langsung oleh penonton yang terbatas, tampak digarap dan disuguhkan dengan penuh totalitas. Kata-kata terakhir Resi Bhisma itu menyudahi sebuah pagelaran seni pentas di tengah suasana kehidupan normal baru sekarang ini. menghidupkan kebenaran.
Penulis, adalah pemerhati seni budaya, dosen ISI Denpasar