DENPASAR, BALIPOST.com – Pemungutan suara pilkada serentak di enam kabupaten/kota di Bali akan berlangsung Rabu (9/12) besok. Namun di tengah pandemi Covid-19, partisipasi masyarakat pemilih diprediksi akan menurun.
Mereka waswas datang ke TPS agar terhindar dari paparan virus Corona. Meskipun KPU telah menyediakan fasilitas penerapan protokol kesehatan (prokes) secara ketat, namun pelaksanaan pilkada serentak tahun 2020 terkesan dipaksakan.
Pengamat kebijakan publik Dr. Ida Ayu Putu Sri Widnyani, S.Sos., M.AP. mengatakan, meskipun fasilitas prokes telah disediakan KPU di masing-masing TPS, namun melihat kondisi dari peningkatan kasus Covid-19, masyarakat merasa waswas ke TPS. Bahkan, ada juga yang mewanti-wanti anggota keluarganya, khusus yang lansia dan memiliki riwayat penyakit serius untuk berhati-hati serta mempertimbangkan datang ke TPS.
“Jadi menurut asumsi saya, antusiasme masyarakat pemilih ada penurunan untuk datang ke TPS,’’ ujar Sri Widnyani, Senin (7/12).
Kendati demikian, pihaknya tetap berharap hal tersebut tidak terjadi. Bahkan, antusiasme pemilih datang ke TPS meningkat, sehingga legitimasi kepala daerah yang terpilih kuat dan integritas pilkada tetap terjaga.
“Semoga saja TPS dalam pilkada ini tidak menjadi klaster penyebaran Covid-19. Para petugas agar mengikuti protokol kesehatan yang sudah ditentukan di TPS. Masyarakat yang tidak berkepentingan hendaknya tidak melakukan kerumunan,” katanya mengingatkan.
Pengamat politik Dr. Ida Bagus Radendra Suastama, S.H., M.H. menilai ada beberapa konsekuensi dari ‘’dipaksakannya’’ pilkada serentak 9 Desember ini. Di antaranya berkurangnya semangat warga untuk menggunakan hak pilihnya.
Sebab, selama ini tanpa pandemi pun partisipasi pemilih datang ke TPS tak pernah mencapai 100 persen. Sehingga logikanya pada saat pandemi ini tentu dapat menurunkan semangat dan partisipasi warga menggunakan hak pilihnya.
Meskipun prokes diterapkan, namun kekhawatiran tentu tidak dapat dipaksakan. Sementara itu, terkait legitimasi, secara yuridis pada peraturan perundangan tidak ada ketentuan bahwa ketika partisipasi pemilih kurang dari sekian persen misalnya, tidak legitimate dan sebagainya.
Namun, secara sosiologi dan psikologi sosial, minimnya partisipasi pemilih sejatinya mengurangi legitimasi kepala daerah terpilih. Hal ini dapat juga berkonsekuensi pada sikap warga ketika dipimpin oleh kepala daerah yang kurang legitimatif. “Semoga saja tidak. Dan semoga saja partisipasi warga akan relatif tinggi dalam pilkada yang terkesan dipaksakan di era pandemi Covid-19 ini,’’ tegas Radendra yang juga berprofesi sebagai advokat ini. (Winatha/balipost)