Oleh A.A. Istri Eka Krisna Yanti, S.H., M.H.
Crisis Always Exacerbates Gender Inequality, itulah yang disampaikan oleh Maria Holtsberg selaku Penasihat Risiko Bidang Kemanusiaan dan Bencana UN Women Asia dan Pasifik. Maria Holtsberg menyatakan setidaknya terdapat lima pergolakan beban bagi perempuan Asia di tengah pandemi Covid-19, tiga di antaranya yang umumnya dirasakan oleh wanita Indonesia yaitu krisis ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, dan penutupan sekolah.
Bagi perempuan Bali, pergolakan beban yang harus dipikul menjadi lebih berat yaitu pelaksanaan ritual keagamaan yang rutin dilaksanakan oleh masyarakat Hindu di Bali.
Virus Corona yang pertama kali mewabah di Wuhan, China pada akhir tahun 2019 yang kini telah mewabah di seluruh dunia. Virus Corona tidak hanya mengancam kesehatan manusia, tetapi juga mengancam perekomonian dunia. Di Indonesia, dalam Laporan Tahunan 2020 Bangkit untuk Indonesia Maju pada kuartal kedua tercatat pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi 5,3%.
Pandemi Covid-19 juga berdampak pada pemutusan hubungan kerja atau dirumahkannya 3,5 juta pekerja, kondisi ini praktis meningkatkan jumlah pengangguran di Indonesia menjadi 10,4 juta, sedangkan angka kemiskinan meningkat menjadi 26,42 juta orang terutama di perkotaan. Provinsi Bali merupakan provinsi yang mengalami penurunan perekomian paling drastis dibandingkan dengan 34 provinsi lainnya di Indonesia.
Ketergantungan pada sektor pariwisata yang kini anjlok sebagai penggerak perekonomian masyarakat membuat Provinsi Bali berada pada titik terendah, disadari atau tidak bahwa mayoritas masyarakat Bali menggantungkan hidupnya pada sektor pariwisata secara langsung ataupun tidak langsung.
Pada kondisi pandemi yang terjadi saat ini juga memicu meningkatnya kasus perceraian di Indonesia. Direktur Jenderal Badan Pengadilan Mahkamah Agung Aco Nur mengungkapkan saat awal penerapan PSBB pada April dan Mei 2020, kasus perceraian di Indonesia di bawah 20.000, namun pada bulan Juli dan Juli 2020 kasus perceraian meningkat menjadi 57.000 kasus.
Meningkatnya kasus perceraian di Indonesia diakibatkan oleh krisis ekonomi yang menyebabkan ketidakmampuan memenuhi kebutuan rumah tangga dan kekerasan rumah tangga yang umumnya dialami oleh istri. Berdasarkan Executive Summary Komnas Perempuan April–Mei 2020, diketahui bahwa kekerasan dalam rumah tangga yang dialami dua kali lebih banyak oleh responden perempuan dengan penghasilan di bawah Rp 5 juta, dibandingkan dengan reseponden perempuan dengan penghasilan di atas Rp 5 juta.
Kekerasan yang dominan terjadi di saat pandemi Covid-19 adalah kekerasan psikologis dan kekerasan ekonomi. Hal ini memperjelas indikasi bahwa kondisi perekonomian suatu rumah tangga berkorelasi dengan keharmonisan rumah tangga.
Perjuangan para perempuan dalam menghadapi pergolakan pandemi Covid-19 semakin sulit ketika pemerintah memutuskan untuk melaksanakan sekolah secara daring dari rumah. Dalam berbagai studi diketahui bahwa kebijakan belajar dari rumah memberatkan peran perempuan, meskipun dapat dipahami bahwa kebijakan belajar dari rumah bertujuan untuk mencegah penularan Covid-19 di sekolah.
Pendidikan anak idealnya merupakan tanggung jawab orangtua, yaitu ibu dan ayah. Namun didapati fakta bahwa tanggung jawab atas pendidikan anak seolah–olah menjadi tanggung jawab ibu, bahkan dalam grup sistem daring sekolah pada umumnya hanya nomor ibu yang terdaftar.
Dalam studi Komnas Perempuan kelompok responden dengan penghasilan di bawah Rp 5 juta memiliki kecenderungan bahwa kebijakan belajar dari rumah merugikan, terlebih bagi para perempuan yang harus bekerja dan tidak dapat mendampingi anaknya belajar dari rumah.
Pergolakan di tengah pandemi Covid-19 bagi perempuan Bali manjadi lebih berat dibandingkan perempuan lainnya, karena selain harus berjuang melawan krisis ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, dan penutupan sekolah, perempuan Bali memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan ritual keagamaan. Ritual keagamaan merupakan kegiatan yang sangat umum dilaksanakan oleh perempuan Hindu di Bali yang dalam kesehariannya membutuhkan tenaga, waktu dan juga memerlukan biaya.
Pandemi Covid-19 yang berdampak pada krisis global, tentu menjadi pukulan berat bagi masyarakat Bali yang menggantungkan perekonomian pada sektor pariwisata. Pergolakan pandemi Covid-19 tidak serta merta membuat perempuan Bali menyerah dalam melaksanakan ritual keagamaan.
Pada prinsipnya ritual keagamaan di Bali tidak memaksakan umatnya untuk melakukan dan mempersembahkan sesuatu yang di luar kemampuan umatnya. Namun, kegigihan perempuan Bali dan besarnya rasa syukur atas segala berkah yang telah diberikan meskipun di tengah krisis pandemi Covid-19 membuat para perempuan Bali senantiasa berusaha memberikan persembahan terbaik dengan tulus ikhlas kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Jika sebelumnya banyak dari perempuan Bali yang memutuskan untuk membeli kebutuhan ritual keagamaan, kini sebagian besar dari mereka memutuskan untuk membuatnya sendiri, sehingga dapat menekan pengeluaran rumah tangga. Perjuangan perempuan Bali dalam menghadapi pandemi Covid-19 menyebabkan kondisi beban kerja berlebih bagi perempuan Bali, khususnya bagi mereka yang memutuskan untuk berkarier.
Kondisi beban kerja berlebih ini tentu saja tidak mewakili kondisi seluruh perempuan Bali, tetapi pada faktanya kondisi ini dialami oleh beberapa kelompok perempuan Bali. Perubahan pekerjaan kerja rumah tangga pada masa pandemi, tentu saja perlu disikapi dengan perubahan pembagian pekerjaan kerja rumah tangga yang responsif gender.
Pekerjan rumah tangga yang dianggap sebagai pekerjaan domestik selalu distereotipkan sebagai pekerjaan perempuan, kini pemikiran tersebut harus diubah, jika perempuan dapat bekerja pada sektor publik, maka sudah seidealnya laki-laki juga bertanggung jawab pada pekerjaan domestik, sehingga dapat mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender untuk membangun rumah tangga yang harmonis.
Penulis, Ketua Pusat Studi Pemberdayaan Perempuan Universitas Dwijendra