DENPASAR, BALIPOST.com – Sepuluh bulan sudah pariwisata Bali mati suri akibat dampak pandemi COVID-19. Berbagai upaya recovery dilakukan.
Baik oleh pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah. Begitu juga oleh para pelaku pariwisata.
Namun, hal tersebut belum bisa memulihkan kembali pariwisata Bali. Sebab, negara-negara “langganan” belum mengizinkan warganya untuk melakukan kunjungan ke luar negeri, termasuk Indonesia.
Pariwisata Bali hanya mengandalkan kunjungan wisatawan domestik saja. Hal ini pun belum bisa mengurai penyakit komplikasi pariwisata Bali saat ini.
Ketua IHGMA DPD Bali, Dr. Yoga Iswara, BBA., NBA., MM.,CHA., mengatakan untuk bisa mengurai penyakit komplikasi pariwisata Bali ada 2 dimensi yang perlu dipertimbangkan. Yaitu, dimensi kesehatan dan ekonomi.
Dari dimensi kesehatan, masyarakat hendaknya saling melindungi dan selalu taat menerapkan protokol kesehatan (Prokes). Karena ini menjadi prioritas kita bersama.
Apalagi, pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara maksimal telah berupaya menekan penyebaran COVID-19. Begitu juga di sektor pariwisata telah dengan ketat menerapkan prokes.
Dari dimensi ekonomi, dikatakan pada 2020 Bali merugi sebesar Rp 9 triliun per bulannya. Selain itu, lebih dari 100 ribu tenaga kerja kehilangan pekerjaan yang mayoritasnya tenaga kerja di sektor pariwisata.
Bahkan, lebih dari 100 ribu tenaga kerja bekerja tanpa menerima gaji atau hanya sekadar mendapat gaji atau hanya mendapat sembako saja setiap bulannya. Dari sisi pertumbuhan ekonomi, pada kuartal I Bali -1.14%, kuartal II -10,98%, dan kuartal III -12,28%. Pertumbuhan ekonomi ini terburuk sepanjang sejarah Bali dan tidak baik dibandingkan dengan daerah lainnya.
Sementara itu, apabila dibandingkan dengan Internasional Arrival 2019, hingga 4 November 2020 pertumbuhannya -79,10%, dan kunjungan domestiknya -66,81%. “Dari kedua sisi ini (dimensi kesehatan dan ekonomi-red) dapat kami tarik sebuah hipotesa bahwa Bali memasuki fase komplikasi. Bagaimana COVID-19 yang ada sudah berdampak pada organ-organ lain, terutama organ vital ekonomi kita. Fakta ini harus kita sikapi secara bijaksana agar kita bisa memikirkan strategi-strategi yang bagus ke depannya,” tandas Yoga Iswara dalam FGD Tanggap COVID-19 “Pariwisata Bali 10 Bulan Pandemi, What’s Next?” di Warung 63 Denpasar, Selasa (8/12).
Menyikapi penyakit komplikasi pariwisata ini, berbagai siklus telah dilalui. Yaitu, siklus disbelieve (tidak percaya adanya COVID-19), siklus panik dan marah, siklus depresi, hingga akhirnya masuk pada siklus “berdamai” dengan COVID-19 (co-exist).
Pada siklus co-exist ini, bagaimana kesehatan dan ekonomi bisa berdampingan bersama-sama untuk menghindari komplikasi yang lebih dalam lagi. Sebab, sebelum siklus co-exist ini diterapkan pariwisata Bali sempat mati suri pada 4 bulan pertama COVID-19 di Bali. “Meskipun setelah kita berdamai dengan COVID-19 dan membuka pariwisata domestik secara perlahan, namun pasar domestik ini belum real menjadi solusi komplikasi penyakit pariwisata,” ujarnya.
Oleh karena itu, untuk membangkitkan gairah pariwisata Bali prokes COVID-19 harus diterapkan oleh semua elemen masyarakat. Upaya saling melindungi menjadi upaya pertama yang harus dilakukan.
Sembari menjalankan roda perekomian dengan seimbang melalui market domestik dan merencanakan open order dengan baik.
Ketua Bali Hotel Association (BHA), Ricky Darmika Putra, mengakui sejak dibukanya kunjungan wisatawan lokal dan domestik pada Juli, akupansi hotel berbintang di Bali mulai bergairah. Meskipun tidak semua bisa beroperasi.
Hanya 15 persen (95 hotel) yang beroperasi dari 498 hotel yang ada di Bali. Setelah itu, pada Agustus, September dan Oktober hanya tumbuh 1 digit (6-8 persen). Dan pada November tumbuh 13 persen karena long weekend.
Oleh karena itu, untuk membangkitkan kembali gairah pariwisata Bali, maka dimulai dari nol dan berdamai dengan COVID-19. Sehingga, pertumbuhan akupansi hotel 6 persen harus tetap disyukuri.
Sembari mempersiapkan diri untuk menyambut kehidupan normal kembali setelah pandemi COVID-19 berakhir. Apalagi, verifikasi prokes pariwisata, baik hotel maupun destinasi wisata telah dilakukan.
Kabid Pemasaran Dinas Pariwisata Bali, Ida Ayu Indah Yustika Rini, mengatakan untuk mengurai penyakit komplikasi pariwisata Bali berbagai upaya telah dilakukan pemerintah Provinsi Bali melalui Dinas Pariwisata Bali. Salah satu hal yang paling penting dilakukan oleh sektor pariwisata adalah taat dalam penerapan prokes CHSE (Cleanliness, Health, Safety and Environmental Sustainability).
Sebab, tren wisatawan saat ini, baik domestik maupun mancanegara lebih fokus memperhatikan kesehatan. Sehingga, budaya Bali yang unik dan keindahan alam yang Bali miliki tidak cukup untuk mendatangkan wisatawan, apabila skema prokesnya tidak diterapkan dengan baik.
Oleh karena itu, jalan terbaik untuk bisa menggaet kunjungan wisatawan ke Bali, pelayanan CHSE menjadi prioritas yang harus dipersiapkan oleh pelaku pariwisata. Baik di hotel, destinasi wisata, maupun pelaku perjalanan wisata (travel). “Terkait Open Order Pemerintah Provinsi Bali terus melakukan pendekatan kepada pemerintah pusat dan terus berupaya menyiapkan fasilitas kesehatan agar pelayanan kesehatan di Bali meningkat, terutama dalam menerapkan prokes CHSE,” pungkasnya. (Winatha/balipost)