JAKARTA, BALIPOST.com – Jika beberapa negara seperti Amerika, Kanada, Uni Emirat Arab, dan Inggris, sudah mulai melakukan vaksinasi COVID-19 sebagai upaya pencegahan spesifik terhadap penularan virus yang merenggut banyak korban, Indonesia saat ini sedang mempersiapkan Vaksinasi COVID-19. Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) sedang mengevaluasi keamanan dan efektivitas vaksin COVID-19 yang tiba di Indonesia beberapa waktu lalu.
Dalam Dialog Produktif bertema Vaksin: Fakta dan Hoaks, yang diselenggarakan Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Selasa (15/12), terungkap bahwa setiap negara punya kebijakan berbeda-beda dalam memprioritaskan warga negara mana yang lebih dulu mendapatkan vaksinasi.
Indonesia sendiri akan memprioritaskan tenaga kesehatan terlebih dahulu yang kesehariannya langsung merawat pasien-pasien COVID-19. Khusus di Indonesia, vaksin diberikan kepada penduduk berusia 18-59 tahun. Vaksin diberikan pada orang sehat sebagai upaya pencegahan, ungkap dr. Dirga Sakti Rambe, M.Sc, Sp.PD, Vaksinolog dan Spesialis Penyakit Dalam.
dr. Dirga menanggapi bahwa dinamika di masyarakat saat ini sudah tidak sabar menunggu tahapan selanjutnya dari program vaksinasi ini. “Saya sekarang melihat kecenderungan banyak orang berspekulasi padahal ini masih berproses. Badan POM masih melakukan kajian-kajian dan tidak akan ada vaksinasi apapun sebelum izin dari Badan POM keluar. Ini adalah upaya Pemerintah untuk memastikan, vaksin yang kita gunakan betul-betul aman dan efektif,” terangnya
Proses vaksinasi dinilai sebagai upaya pemerintah dalam menangani pandemi. Tidak benar, jika virus COVID-19 akan hilang dengan sendirinya. Ada jutaan kematian akibat virus ini di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. “Kita tidak bisa berdiam diri, ekonomi kita terpukul, bekerja juga menjadi sulit. Oleh karena itu perlu ada upaya-upaya ekstra, yaitu protokol kesehatan harus dijalankan secara konsisten, dengan adanya vaksinasi nanti diharapkan akan membantu, karena vaksin memberi proteksi yang bersifat spesifik”, ujar dr Dirga.
COVID-19 memiliki spektrum gejala yang luas pada penderitanya, mulai dari tidak bergejala sama sekali hingga bergejala berat yang menyebabkan proses identifikasi pasien menjadi semakin sulit. “Bahkan penelitian menunjukkan bahwa 40% pasien COVID-19 tidak bergejala. Meskipun begitu, penting untuk diketahui, baik bergejala atau tidak, semua pasien COVID-19 ini bisa menularkannya ke orang lain, terang dr. Driga lebih lanjut.
Sementara Cherryl Hatumesen, Penyintas COVID-19 membenarkan keterangan dr. Dirga, karena selaku penyintas, ia awalnya tidak merasakan gejala berat sebelum akhirnya melakukan tes swab dan terbukti positif. Virus COVID-19 ini benar-benar ada, jadi sambil menunggu vaksin nanti, protokol 3M (Memakai masker, Mencuci tangan, dan Menjaga jarak), harus dijalankan. Selain itu dalam menghadapi COVID-19 memang perlu kedewasaan diri, untuk tidak takut mengakui apabila tertular agar bisa melindungi orang-orang di sekitar.
Dalam konteks pandemi COVID-19, bagi pasien COVID-19 yang sudah sembuh tidak menjadi sasaran prioritas karena dianggap sudah memiliki kekebalan. Menanggapi dinamika di masyarakat terkait vaksin ini, Cherryl Hatumesen mengatakan, “Di luar sana masih ada yang tidak antusias dengan kedatangan vaksin COVID-19 ini, padahal kelompok – kelompok yang anti vaksin ini termasuk golongan yang cukup berpendidikan. Kalau saya belum kena COVID-19, saya pasti mau di vaksin langsung,” ungkapnya.
Sebelum pandemi upaya-upaya pencegahan dari penularan penyakit memang diremehkan oleh sebagian masyarakat. Sebelum ini kita selalu meremehkan masalah kesehatan karena
menganggap diri kuat. Sekarang setelah dirawat karena COVID-19, saya mengikuti dokter paru saya yang menyarankan mengurangi karbohidrat dan memperbanyak protein untuk meningkatkan imunitas tubuh. Masker selalu saya pakai, hand sanitizer juga tidak pernah lepas. Karena terbukti dengan menjalankan protokol 3M, teman-teman di kantor tidak ada yang tertular dari saya, ujar Cherryl. (Agung Dharmada/Balipost)