Prof. Ratminingsih. (BP/Istimewa)

Oleh  Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.

Mengakhiri tahun 2020 dalam beberapa hari ke depan, ada baiknya merefleksikan tentang kualitas pendidikan nasional. Berbagai sumber telah melaporkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia ditengarai salah satu yang terendah di dunia.

Ada apa dengan pendidikan di Indonesia? Mengapa rendah? dan apa yang menyebabkan? Untuk menjawab berbagai pertanyaan terkait, ada baiknya menelisik apa yang terjadi pada perencanaan, pelaksanaan pembelajaran, dan apa dan bagaimana asesmen terhadap konten pembelajaran dilakukan.

Dalam menyukseskan sebuah pendidikan, para guru sudah dibekali dengan berbagai pengetahuan yang mendukung profesinya. Salah satu adalah menyusun rencana pembelajaran (RPP). Belakangan Bapak Menteri Pendidikan Nasional Nadiem Makarim mengubah kebijakan yang tadinya sebuah RPP sangat rinci dengan jumlah sekitar 10 s.d. 15 halaman (ditengarai menjejali guru dengan tugas administrasi) menjadi cukup satu halaman, yang isinya minimal ada tiga komponen penting, yaitu tujuan pembelajaran, langkah pembelajaran, dan asesmen pembelajaran.

Artinya, tugas guru sudah disederhanakan dalam perencanaan pembelajaran. Hal ini sangat rasional, karena sesungguhnya yang lebih penting adalah pelaksanaan pembelajaran. Seberapa pun lengkap dan hebatnya sebuah rencana, bila tidak diimplementasikan di dalam proses pembelajaran, hanya sebuah dokumen tanpa guna.

Guru yang berkinerja menjadi tuntutan wajib dalam rangka membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran yakni cerdas dan terampil dalam semua materi yang menjadi konten pembelajaran berdasarkan kurikulum. Sudahkah pelaksanaan pembelajaran dilakukan maksimal?

Baca juga:  “Super Deduction Tax” untuk Pengembangan SDM

Sejak masa pandemi, implementasi pembelajaran di tahun 2020 mayoritas dilakukan secara luring dan daring. Kondisi yang dihadapi hendaknya tidak menjadikan keterbatasan bagi guru untuk memaksimalkan pembelajaran sepanjang guru memiliki komitmen yang tinggi untuk melaksanakannya. Bila semua materi telah diajarkan sesuai dengan standar proses, yaitu melalui pendekatan Saintifik dan cara-cara yang PAKEM (Partisipatif, Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan) ditambah dengan usaha menginsersi keterampilan abad ke-21 yang mengembangkan keterampilan 4C yakni berpikir kritis, berkomunikasi, berkolaborasi, dan berkreasi, maka dapat diyakini bahwa pembelajaran sudah dilakukan dengan langkah-langkah yang tepat dalam rangka mencapai hasil yang diharapkan.

Bagaimana dengan asesmen? Berita terbaru melaporkan guru dianggap kurang mampu membuat soal-soal asesmen yang relevan, bahkan ada kasus soal ‘’dipolitisasi’’. Ada apakah dengan guru dalam membuat soal?

Asesmen adalah salah satu komponen sangat penting dari pendidikan. Asesmen harus mampu mengukur tujuan pembelajaran yang ingin disasar, sehingga mampu mengevaluasi sejauh mana peserta didik telah belajar dan sejauh mana mereka dapat mendemonstrasikan hasil pembelajarannya. Oleh karena itu, tugas guru adalah mempertimbangkan dengan cermat bukan hanya pada apa yang perlu dinilai tetapi juga bagaimana melakukannya. Peningkatan kemampuan guru dalam pelaksanaan asesmen memiliki dampak yang sangat besar terhadap kualitas pembelajaran.

Kurikulum 2013 menegaskan bahwa asesmen yang dilakukan hendaknya berupa asesmen autentik, yaitu sebuah asesmen yang menilai kemampuan dan keterampilan peserta didik apa adanya dan menilai apa yang mestinya dinilai. Jenis penilaian ini dapat dilaksanakan selama proses pembelajaran (process assessment) dan setelah selesai pembelajaran (product assessment). Sudahkah para guru melaksanakan asesmen yang tepat dan relevan dalam menilai kemampuan dan keterampilan peserta didik?

Baca juga:  Wujudkan Kesejahteraan Masyarakat Dengan Pemerataan Kualitas Pendidikan

Kemampuan guru dalam melaksanakan asesmen yang tepat juga menjadi sangat perlu ditekankan agar kemampuan dan keterampilan peserta didik dapat dinilai dengan baik. Tentu bila perangkat asesmen yang digunakan relevan dengan apa yang harus dinilai. Semisal, bila yang dinilai adalah sebuah keterampilan berbicara atau bercakap, maka asesmen yang digunakan tentunya adalah asesmen kinerja (performance assessment), bukan dengan tes objektif melalui pilihan ganda atau benar salah atau melengkapi yang hanya menekankan pada kemampuan mengingat atau pemahaman.

Selanjutnya, kemampuan analisis hanya dapat dilatih dan dinilai bila peserta didik dihadapkan pada masalah-masalah nyata melalui cara belajar pemecahan masalah dalam kehidupan (problem-based learning) yang sering dikatakan sebagai kemampuan HOTS (High Order Thinking Skills) dan keterampilan berkreasi dapat dievaluasi melalui pemberian projek, baik projek berupa tulisan atau rekaman yang dikerjakan secara kolaboratif yang kemudian diberikan umpan balik (feed back) oleh guru. Inilah sesungguhnya esensi terkini yang dinamakan asesmen untuk belajar (assessment for learning), yaitu penilaian yang dilakukan sebagai bagian dari proses pembelajaran yang lebih menekankan pada menilai kemampuan dan keterampilan yang sesungguhnya yang bertujuan untuk memberikan umpan balik berkelanjutan tentang kinerja peserta didik dan bagaimana kinerja mereka terus dapat ditingkatkan dan/atau dipertahankan.

Baca juga:  Komitmen Gubernur Koster Perbaiki Pendidikan, PPDB Dimasukan dalam Perda Haluan Pembangunan Bali Masa Depan

Sementara yang biasa dilakukan guru adalah asesmen atas pembelajaran (assessment of learning) untuk memberikan nilai atau skor. Jadi, tujuan utamanya adalah mengevaluasi hasil pada akhir unit pembelajaran dan membandingkannya dengan beberapa standar atau tolok ukur serta digunakan untuk melaporkan capaian atau kemajuan peserta didik kepada orangtua.

Yang perlu ditingkatkan pelaksanaannya adalah asesmen sebagai bagian dari pembelajaran (assessment as learning). Dalam asesmen autentik, peserta didik perlu dilatih untuk melakukan penilaian diri (self assessment) dan penilaian teman sejawat (peer assessment) sebagai cara untuk mengetahui kemampuannya sendiri. Mereka harus berlatih memonitor perkembangannya sendiri terhadap apa yang telah dipelajari, apa yang sudah mampu dicapai dan apa yang belum mampu dicapai. Dengan kemampuan ini mereka akan lebih bertanggung jawab terhadap hasil pembelajarannya sendiri.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ketiga komponen pembelajaran utama yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan asesmen pembelajaran perlu mendapatkan perhatian penting dari para guru agar apa yang menjadi tujuan pembelajaran yakni kompetensi dalam berbagai konten pembelajaran dapat dicapai secara maksimal yang merepresentasikan kompetensi sesungguhnya dari peserta didik dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan Indonesia.

Penulis, Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *