Oleh Agung Kresna
Dokumen kesehatan yang wajib dimiliki PPDN (Pelaku Perjalanan Dalam Negeri) semakin mengingatkan kita semua, bahwa saat ini kita sedang berada dalam kondisi darurat kesehatan masyarakat. Wisatawan sebagai PPDN tentu saja menjadi wajib untuk memiliki dokumen kesehatan yang menunjukkan hasil negatif uji rapid test antigen atau negatif uji swab berbasis PCR.
Berkah tahun baru yang biasa mewarnai dunia pariwisata Bali seakan raib seiring dengan kewajiban kepemilikan dokumen kesehatan bagi wisatawan tersebut. Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 2021 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kegiatan Masyarakat Selama Libur Hari Raya Natal dan Menyambut Tahun Baru 2021 dalam Tatanan Kehidupan Era Baru di Provinsi Bali, memuat kewajiban dokumen kesehatan wisatawan tersebut.
Dokumen kesehatan wisatawan tersebut memang telah menimbulkan pengurangan yang signifikan terhadap jumlah wisatawan yang berlibur ke Bali di liburan akhir tahun ini. Hal ini lebih banyak dipicu karena biaya yang memang tidak murah dalam mendapatkan dokumen kesehatan melalui uji swab PCR atau uji rapid test antigen.
Biaya berwisata ke Pulau Bali memang menjadi tidak lagi murah. Jumlah wisatawan juga berkurang secara signifikan. Padahal kehadiran wisatawan di Pulau Bali menjadi bahan bakar untuk menghidupkan ekonomi Bali. Di sisi lain kita semua belum tahu kapan situasi pandemi Covid-19 sebagai pangkal situasi ini akan berakhir.
Agar pariwisata Bali dapat tetap tegar dan berjalan beriringan dengan pandemi Covid-19, kini saatnya insan pariwisata Bali mulat sarira atas sepak terjang industri pariwisata Bali yang acapkali mengusik keharmonisan alam dan gumi Bali. Nuansa Bali sebagai kawasan budaya yang penuh wilayah suci/sakral beserta muatan sejarah dengan berjuta tradisi, secara perlahan bagai telah kehilangan vibrasi auranya.
Destinasi Super Prioritas
Sudah saatnya paradigma pariwisata Bali diubah. Bali harus berani mulai mencanangkan diri sebagai destinasi pariwisata super prioritas. Bali harus identik dengan Premium Tourism. Pariwisata Bali tidak murah dan harus berkelas, namun harus tetap memberikan keuntungan dan kesejahteraan bagi segenap krama Bali; bukan hanya menguntungkan investor semata.
Pariwisata Bali dengan paradigma baru harus dapat berlangsung dan memberi kesejahteraan bagi krama Bali, di tengah terpaan kendala safety maupun security akibat paparan pandemi Covid-19. Pariwisata Bali harus dijalankan dengan tanpa mengusik keharmonisan alam dan adat budaya adiluhung Bali.
Pertama, pariwisata Bali harus dikelola dengan paradigma baru. Pertumbuhan pariwisata harus diukur dengan Kebahagiaan Regional Bruto (Gross Regional Happiness/GRH), Tidak boleh lagi semata-mata diukur secara ekonomi dengan Gross Regional Product/GRP atau Produk Domestik Regional Bruto/PDRB. Gross Regional Happiness dapat diukur dari keberhasilan dalam konservasi budaya, perlindungan lingkungan, kepemimpinan yang baik, dan pembangunan yang berkelanjutan.
Kedua, mengembangkan model special interest tourism (wisata minat khusus) sebagai ruh pariwisata Bali. Dalam hal ini perlu identifikasi atas jenis special interest tourism yang banyak melibatkan krama Bali dan mengandung potensi ekonomi tinggi bagi krama Bali, Objek wisatanya harus genuine dan hanya ada di Bali, utamanya yang terkait jejak adat dan tradisi budaya krama Bali.
Ketiga, harus diberlakukan pembatasan jumlah pengunjung/wisatawan (kuota) dalam satu satuan waktu tertentu. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya menghitung carrying capacity/kapasitas daya dukung dari objek wisata itu sendiri. Sehingga tidak terjadi eksploitasi yang berlebihan atas objek wisata yang ada di Pulau Bali.
Perlu disadari bahwa dokumen kesehatan wisatawan hakikatnya justru bukan ditujukan bagi wisatawan itu sendiri. Namun justru untuk memastikan bahwa wisatawan tidak akan menjadi sumber penyebar virus Covid-19 bagi masyarakat di objek wisata yang dikunjunginya. Sebuah upaya mewujudkan kehidupan krama dan gumi Bali yang sejahtera dan bahagia; secara sekala-niskala, namun dengan tetap menjaga kesucian dan keharmonisan alam Bali.
Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar.