SEMARAPURA, BALIPOST.com – Memasuki tahun baru 2021, produsen tahu dan tempe belum bisa keluar dari masa-masa sulit. Sebab, harga kedelai yang sudah melonjak naik pertengahan Desember tahun lalu, belum menunjukkan adanya tanda-tanda bakal menurun. Situasi demikian membuat produsen tahu dan tempe terpaksa menyiasatinya dengan menurunkan produksi hingga 60 persen.
Kenaikan harga bahan baku tahu dan tempe ini sudah terjadi sejak pertengahan Desember lalu, dari Rp 6.800 per kg melonjak Rp 2.000 menjadi Rp 9.200 per kg sejak Senin, (4/1). Ini membuat produsen tahu dan tempe makin terpuruk. Salah satu produsen tahu dan tempe, Putu Sudana, mengaku situasi ini kian memberatkannya di tengah situasi pandemi COVID-19 ini. Padahal, biasanya di memproduksi untuk tempe saja bisa habis 600 kg, tahu bisa 500an kg. Namun, karena harga bahan baku naik, saat ini produksi tempe dan tahu hanya 400 kg saja.
“Produksi turun dari kisaran 40 persen sampai 60 persen. Ini terjadi sejak harga kedelai naik. Ini pun sudah memaksakan, memproduksi sebanyak itu. Kami khawatir rugi banyak nanti,” kata Sudana.
Ia mengaku sudah 25 tahun bekerja sebagai produsen tahu dan tempe di rumahnya di Sampalan Klod. Menurutnya, harga ini termahal dalam lima tahun terakhir. Terlebih saat terjadi pandemi COVID-19. Ini semakin menyulitkannya untuk survive menghadapi pandemi. Dampaknya, Sudana mengaku juga terpaksa harus mengurangi jumlah pekerjanya, agar usahanya tetap bisa berjalan, meski dalam situasi sulit.
“Saya kurang tahu, kenapa harganya bisa naik. Sebelumnya juga tidak ada pemberitahuan, atau pengumuman dari pemerintah. Apa mungkin karena kesulitan import,” katanya.
Sebab, untuk pembuatan tempe dan tahu, menurutnya harus dari kedelai import. Kalau kedelai lokal, kedelai tidak mau nempel saat proses pembuatan. Akibatnya, tempe atau tahu saat dipotong konsumen pasti rusak. Selain itu, yang membuatnya kelimpungan, dengan harga kedelai yang naik, ia harus tetap menjual tahu dan tempe kepada pengepul dengan harus tetap sama. Jika harganya ikut dinaikkan, mereka pasti akan mencari produsen tahu tempe di tempat lain.
Produsen tempe lainnya, seperti Nengah Kondra di Dusun Gerombong, Desa Sulang, Klungkung, saat ditemui, Senin (4/1) juga mengaku mengalami hal serupa. Kondra mengaku harus mengurangi jumlah produksi sebanyak 50 persen. Hanya saja, dia menyiasatinya dengan mengecilkan ukuran tempenya, agar tidak rugi banyak.
Dipihak lain, Perbekel Desa Sulang, I Wayan Sukasna, saat ditemui dilokasi pengolahan tempe mengaku banyak menerima keluhan kondisi mahalnya harga bahan baku tempe tahu ini. Dia berharap pemerintah pusat segera bergerak untuk menurunkan harga kedelai ini, sehingga produsen tahu dan tempe yang sudah menjadi sektor utama UMKM ini terus bisa diproduksi. “Ini adalah salah satu UMKM masyarakat kami disini. Kami ingin mereka tetap bisa bertahan. Sebab, masyarakat kami banyak sebagai pekerja disana,” tegasnya. (Bagiarta/Balipost)