SINGARAJA, BALIPOST.com – Di awal tahun ini, setelah perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru), harga cabai di Buleleng justru melonjak. Dua kali lipat dari harga sebelum Nataru.
Di tingkat pedagang, cabai rawit berkisar dari Rp 75.000 smapai Rp 80.000 per kilogram. Meski harga melejit, namun permintaan cabai rawit di pasaran tetap tinggi. Beruntung, pedagang pengecer tetap menerima pasoskan dari pengepul di daerah Jawa.
Seorang pedagang di Pasar Anyar, Komang Widia (38), Selasa (5/1) menuturkan, setelah Nataru berlalu harga cabai rawit mulai merangkak naik. Jika sebelumnya harga berkisar Rp 35.000 sampai Rp 40.000 per kilogram, belakangan ini terus merangkak. Rata-rata harganya antara Rp 75.000 sampai paling mahal Rp 80.000 tiap kilogram. Bahkan, lonjakan harga ini terjadi setiap hari dengan rata-rata kenaikan harga Rp 10.000.
Meskipun harganya semakin meroket, namun permintaan dari konsumen tetap tinggi. Ini tidak lepas karena untuk kebutuhan dapur, cabai tidak bisa digantikan dengan bahan lain.
“Setelah tahun baru harganya perlahan naik dan rata-rata sehari naik Rp 10.000 dan sekarang sudah tembus Rp 80.000 per kilogram. Harganya memang mahal karena kita beli dari pengepul juga naik, dan pembeli tetap saja tinggi,” katanya.
Menurut Widia, dirinya menduga kenaikan harga ini karena pasokan cabai dari petani di dalam daerah terbatas. Situasi ini lantas digantikan dengan pasokan cabai dari beberapa daerah di Jawa. Karena mendatangkan dari luar daerah, kenaikan harga tidak terelakkan. “Kurang tahu apa yang menyebabkan. Tapi banyak yang bilang kalau cabai lokal produksinya terbatas, sehingga cabai luar daerah ini masuk dan harganya pun melejit,” katanya.
Sementara itu, cabai besar justru mengalami penurunan harga. Sebelumnya dijual Rp 50.000 per kilogram. Sekarang harganya melorot menjadi Rp 30.000 per kilogram. Selain itu, harga bahan bumbu lain sekarang masih normal dan belum ada tanda lonjakan harga. (Mudiarta/balipost)