Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardhana, MA. (BP/Istimewa)

Oleh Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardhana, M.A.

Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak capaian pembangunan di bidang kebudayaan yang berhasil diwujudkan oleh Pemerintah Provinsi Bali selama tahun 2020. Hal ini tentu sejalan dengan arah dan strategi pembangunan kebudayaan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Adanya Undang-undang Pemajuan Kebudayaan ini memberikan peluang bagi kita untuk lebih memahami kebudayaan lokal kita dalam konteks kebudayaan nasional. Seperti dengan diwujudkannya ide orisinil oleh Gubenur Bali Wayan Koster dalam salah satu programnya di bidang kebudayaan berupa mewujudkan pembangunan monumental yang memiliki nilai-nilai kesejarahan yang penting dalam kaitannya dengan terbentuknya fondasi kebudayaan Bali hingga dewasa ini.

Ini tentu tidak terlepas dari bukti-bukti kesejarahan yang ada, dimana lokasi pembangunan Pusat Kebudayaan Bali yang bertempat di Gunaksa memiliki arti dan makna penting, tidak hanya bagi masyarakat Klungkung, tetapi juga bagi masyarakat Bali dan Indonesia pada umumnya dalam kaitannya dengan terajutnya nilai-nilai keindonesiaan di masa-masa berikutnya. Ini terlihat dari proses sejarah dan migrasi yang terjadi ketika kekuasaan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur mencapai puncaknya.

Baca juga:  Galungan, Berikan Kado untuk ”Otonan Gumi”

Dalam kaitan ini, perlu melihat bagaimana proses kesejarahan tersebut berlangsung sebagaimana dicatat oleh C.C. Berg, dalam karyanya,”De Middeljavaansche Historische Traditie” (1927) yang mendeskripsikan kunjungan Arya Damar ke Bali yang diikuti oleh sekitar 5.000 pengikutnya. Selanjutnya mengenai relasi kuasa antara Arya Damar dengan penguasa Bali dapat dilihat pada Usana Jawa.

Raja pertama yang pertama di Bali bertempat di Samprangan memiliki gelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan memberikan gelar kepada Arya Damar yaitu Arya Kenceng. Yang dikenal juga dengan Bhatara Sirarya Kenceng seperti ditulis oleh James A Boon dalam karyanya yang berjudul, “The Anthropological Romance of Bali”(1977).

Pada tahun 1686-1687 sebagaimana dicatat oleh seorang ahli sastra dan sejarah Bali, Helen Creese dalam karyanya yang berjudul, “The Early Baiinese Polity: Interprenting the Evidence“ (1992) menyebutkan, bahwa perkembangan pada saat itu dipertimbangkan sebagai awal terbentuknya sistem pemerintahan awal di Bali yang kemudian karena berbagai dinamika yang terjadi maka pusat kekuasaan dipindahkan ke Klungkung. Kemudian pada kekuasaan Dalem Baturenggong itu Bali mencapai puncak kekuasaannya.

Dapat dikatakan bahwa pada kurun waktu itu puncak dari otonomi kekuasaan terjadi pada abad ke-17 dan ke-18, para raja di Bali dan Nusantara pada umumnya memiliki hak otonomi mereka sendiri tanpa intervensi kekuasaan asing, meskipun Belanda secara lambat laun tampak mencoba di masa-masa berikutnya mulai melakukan hubungan dagang dengan penguasa-penguasa di Bali.

Baca juga:  Puluhan Bidang Tanah Kasus Candra Dijadikan Areal Pusat Kebudayaan Bali

Tradisi adat, agama Hindu yang berkembang sejak masa pemerintahan Dalem Waturenggong atau dikenal pula dengan Baturenggong itu telah dicatat dalam bukti-bukti kesejarahan, dimana kebudayaan Bali mengalami perkembangan yang signifikan. Dengan dibangunnya Pusat Kebudayaan Bali di Gunaksa Kabupaten Klungkung ini tidak terlepas dari pemahaman tentang puncak kejayaan Kerajaan Klungkung pada saat itu yang mampu memberikan kontribusinya dalam terbentuknya fondasi kebudayaan Bali modern hingga saat ini.

Dengan kata lain, dengan dibangunnya Pusat Kebudayaan Bali itu akan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana dinamika kebudayaan Bali berkembang di masa lalu dan telah mampu memberikan bukti-bukti bahwa apa yang berkembang di masa lalu itu hingga bertahan sampai saat ini.

Dari catatan ini dapat dikatakan bahwa dengan dibangunnya Pusat Kajian Bali itu akan dapat memperkokoh indikator-indikator budaya Bali, baik yang bersifat sekala dan niskala. Sebagaimana dicatat dalam karya yang ditulis oleh Margaret J. Wiener dalam bukunya yang berjudul, “Visible and Invisible Realms: The Royal House of Klungkung and the Dutch Conquest of Bali” (1990), bahwa nilai-nilai budaya Bali tersebut sangat diharapkan kehadirannya di masa kini dan masa yang akan datang.

Baca juga:  Kebudayaan Sebagai Energi Terbarukan

Upaya pembangunan Pusat Kebudayan Bali tentu sangat diharapkan oleh masyarakat Bali yang mampu menyimpan berbagai pemikiran tentang kebudayaan dan peradaban Bali. Tentu para sejarawan, penggiat sejarah, pemerharti sejarah dan pemerhati kebudayaan Bali pada umumnya akan memiliki wahana untuk berkarya dan berkreativitas dalam menjaga keutuhan kebudayaan Bali dan dengan dibangunnya Pusat Kebudayaan Bali ini diharapkan dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai aspek-aspek kebudayaan Bali, tidak hanya aspek arkeologinya tetapi juga aspek antropologinya, sistem ekonominya, yang berkaitan dengan terbentuknya kebudayaan Bali pada khususnya dan kebudayaan nasional Indonesia pada umumnya.

Penulis Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Bali, Ketua Yayasan Pendidikan Widya Kerthi-Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar

BAGIKAN

1 KOMENTAR

  1. saya berharap di Pusat kebudayaan Bali ini dapat dibanguan TAMAN MINI BALI,yang mana mencerminkan adat istiadat,kebudayaan,dan bermacam-macam seni dari seluruh kabupaten di Bali,seperti halnya Taman Mini Indonesia Indah di jakarta yang mencerminkan seluruh provinsi di Indonesia.Taman mini Bali ini akan menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung karena mereka bisa menikmati Bali cukup datang ke Pusat kebudayaan Bali.Siapkanlah lahan masing masing satu hektar untuk perwakilan kabupaten di seluruh Bali,sehingga bisa dibangun sesuai keunikn masing-masing kabupaten tersebut.misalkan kabupaten Tabanan,dari sisi bangunan bisa menonjolkan lumbung padi,kesniannya bisa jadi okokan,dll.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *