Oleh Dr. I Putu Gede Datmika, S.E., M.Si. Ak., CA., CPA
Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) masih menjadi polemik bagi masyarakat kebanyakan di tengah perekonomian dunia dalam ancaman COVID-19 yang kian tidak menentu. Banyak perdebatan mengenai peran perguruan tinggi dalam hal ini para peneliti di bidang kesehatan untuk unjuk kekuasaan dalam memberikan solusi terbaik agar perekonomian segera pulih dari dahsyatnya hantaman ketidakpastian dari perkembangan COVID-19.
Ancaman nyata, di bidang pendidikan yang kian tidak mendapatkan kepastian dari pemerintah akibat keraguan dan efek domino dari negera maju dan berkembang akibat perkembangan dari ketidakpastian dunia menghadapi bencana pandemi ini. Mahalnya persepsi masyarakat terhadap perguruan tinggi negeri di Republik Indonesia dari perguruan tinggi berbentuk Satuan Kerja (Satker), Badan Layanan Umum (BLU) dan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum. Semua bentuk perguruan tinggi negeri tesebut diharapkan berkinerja sesuai dengan kemampuan pemerintah memberikan akses pendanaan dari APBN.
Target kinerja yang lebih tinggi dari pemerintah sudah semestinya diberikan pendanaan yang lebih tinggi dan kemudahan akses, pengelolaan keuangan seperti BLU dan PTN BH, namun kenyataan masyarakat dan kalangan publik salah mengertikan kata kebebasan pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh PTN BLU dan PTN BH sehingga membuat binggung para pengelola PTN BLU dan PTN BH seakan-akan kondisinya dibalik menjadi Satker yang tertukar atau privatisasi perguruan tinggi negeri di Indonesia.
Tulisan ini akan membahas secara khusus mengapa PTN BH masih menjadi polemik di kalangan masyarakat akibat mahalnya masuk perguruan tinggi dengan baju BH tersebut. Kalau kita mengacu pada penjelasan UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pasal 65 ayat 4 sudah dengan sangat jelas menuliskan bahwa PTN BH merupakan PTN yang sepenuhnya milik Negara dan tidak dapat dialihkan kepada perseorangan atau swasta.
Untuk melaksanakan fungsi pendidikan tinggi yang berada dalam lingkup tanggung jawab kementerian, pemerintah memberikan kompensasi atau menanggung sebagian biaya yang telah dikeluarkan oleh PTN BH. Kalimat Pemerintah memberikan kompensasi atau menanggung sebagian adalah kontradiksi dari harapan dari kebebasan pengelolaan yang dilakukan oleh PTN BH.
Para pengelola bukan saja konsen pada target yang berat dari pemerintah, tetapi lebih konsen pada pendanaan yang dari tahun ke tahun semakin menurun dan harus dipacu kerja keras tanpa batas untuk mendapatkan dana dari peserta didik dalam arti jumlah mahasiswa adalah target utama dalam menyokong operasional kampus. Inilah malapetaka pertama yang kemungkinan dihadapi oleh PTN BH di kemudian hari.
Mahkamah Konstitusi dalam putusan judicial reviu atas UU. No. 12 tahun 2012 dengan jelas menyatakan bahwa PTN BH adalah Badan Hukum Publik. Jika demikian badan hukum dalam konsep hukum perdata merupakan entitas yang benar-benar otonom dan mandiri yang hanya tunduk pada ketentuan Undang-Undang serta peraturan internalnya, dengan demikian PTN BH di samping merupakan entitas yang otonom tetapi juga merupakan badan hukum publik yang berkewajiban melaksanakan tugas dan tanggung jawab Negara dalam penyelenggaraan pendidikan pada perguruan tinggi.
Artinya PTN BH merupakan agen negara yang tetap berada di bawah kontrol pemerintah dan sangat wajar masih mendapatkan pendanaan dari Pemerintah Pusat. Pernyataan MK merupakan malapetaka kedua yang dirasakan pengelola PTN BH. Keputusan tersebut telah disalahpersepsikan dengan pendidikan murah, di sisi lain PTN BH ditarget dengan kinerja yang sangat tinggi untuk bisa bersaing di universitas kelas dunia.
PTN BH akan kesulitan dana karena tidak terbiasa dengan konsep kemandirian dalam mencari uang apalagi uang kuliah dari mahasiswa sudah bukan pendapatan bukan pajak lag, secara otomatis uang kuliah sangat bervariasi di antara mahasiswa yang berpotensi menimbulkan konflik sosal di antara para mahasiswa.
Negara seharusnya tetap hadir dalam PTN BH karena merupakan mandat undang-undang No. 12 tahun 2012 yang menyatakan bahwa penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri didasarkan pada seleksi akademis dan dilarang dengan tujuan komersial. Hal ini ditegaskan dalam pasal 73 ayat 5.
Keharusan perguruan tinggi negeri mencari dan menjaring calon mahasiswa berpotensi akademik tinggi dari kalangan masyarakat yang secara ekonomi kurang mampu, serta daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20 persen dari seluruh mahasiswa baru diatur dalam pasal 74 ayat 1 juga mencerminkan negara harus tetap hadir dalam urusan pendanaan PTN BH.
Pemerintah wajib menyediakan beasiswa, bantuan biaya pendidikan, dan atau pinjaman dana tanpa bunga. Pernyataan ini ada dalam pasal 76 ayat 2 tetap membuktikan peran pemerintah tetap ada dalam pendanaan PTN BH. Kehadiran pemerintah juga tertuang dalam pasal 83 ayat 1 dimana pemerintah menyediakan dana pendidikan tinggi yang dialokasikan dari dana APBN.
Namun pada kenyataannya masyarakat dan pemangku kepentingan mempersepsikan seakan-akan PTN BH adalah identik dengan privatisasi BUMN sehingga setiap orang menafsirkan berbeda dari sudut pandang yang berbeda yang merupakan malapetaka ketiga dimana PTN BH dianggap privatisasi Pendidikan Tinggi. Malapetaka berikutnya adalah praktik pengenaan pajak bagi PTN BH yang harus menjadi subjek dan objek pajak.
Secara tidak sadar PTN BH menjadi rebutan bagi Kantor Pelayanan Pajak untuk menjadikan target sasaran untuk mendukung program kerja mereka dalam memenuhi target penerimaan pajak. Hal ini sangat wajar, tetapi hati nurani tidak akan pernah menerima bahwa Perguruan Tinggi Negeri menyandang status PKP (Pengusaha Kena Pajak).
Malapetaka ini sangat membuat PTN dengan status badan hukum kurang bisa bersaing karena mempunyai harga jual lebih tinggi 10 persen dari setiap transaksi yang mereka lakukan dengan pihak luar dalam meningkatkan pendapatan mereka. Kebebasan pengelolaan yang mereka harapkan dalam pengelolaan keuangan justru menjadi malapetaka yang tidak dipikirkan.
PTN BH bagaikan satker yang tertukar diharuskan melaporkan PPH Badan dan sisa dana menjadi objek pajak dengan tarif 30 persen serta pegawai dikenakan tarif pajak penghasilan bersifat progesif.
Penulis Dosen Tetap Fakultas Ekonomi Universitas Pendidikan Ganesha, Pimpinan Kantor Jasa Akuntan I Putu Gede Diatmika