I Gusti Ketut Widana. (BP/Istimewa)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Hari suci Siwaratri dilaksanakan setiap tahun sekali berdasarkan kalender Içaka yaitu pada Purwaning Tilem atau panglong ping 14 sasih Kapitu (bulan ke tujuh) sebelum bulan mati (tilem), dalam kalender Masehi setiap bulan Januari. Hari suci Siwaratri memiliki makna khusus, karena pada saat itu Sanghyang Siwa sedang beryoga, sehingga menjadi hari baik bagi umat untuk turut melakukan tapa brata yoga samadi sebagai sadhana bhakti pemujaan kehadapan Hyang Siwa.

Kata Siwaratri itu sendiri berasal dari kata “Siwa” dan “ratri”. Dalam bahasa Sansekerta kata “Siwa” berarti baik hati, memberikan harapan, membahagiakan dan suka memaafkan, Siwa juga adalah sebuah nama manifestasi Tuhan yaitu Dewa Siwa yang berfungsi sebagai palebur (pralina). Sedangkan “Ratri” berarti malam atau kegelapan, sehingga jika diartikan “Siwaratri” berarti palebur kegelapan untuk menuju jalan terang. Itulah sebabnya hari suci Siwaratri merupakan malam perenungan suci, sebagai momen mengevaluasi dan instropeksi diri atas perbuatan atau dosa-dosa selama ini, seraya memohon kepada Sang Hyang Siwa yang sedang beryoga agar diberikan tuntunan untuk kembali ke jalan dharma.

Pada situasi pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, tampaknya hari suci Siwaratri yang jatuh pada tanggal 12 Januari 2021 ini, dapat dijadikan momen religi untuk tujuan “menyadarkan diri”, bagaimana agar mewabahnya virus Corona saat ini bisa segera teratasi. Sehingga Siwaratri tidak hanya ditandai dengan praktik ritualistik simbolik yang acapkali membenamkan kandungan makna di balik tattwa. Betapapun, hari suci Siwaratri yang berangkat dari teks sastra Kakawin Siwaratrikalpa karya Adikawi Mpu Tanakung, merupakan ajaran tattwa yang bersifat siwaistik, sebagai jalan pendakian menuju puncak kesadaran spiritual hingga akhirnya kembali bersatu pada Siwa.

Baca juga:  Patroli Pantai, Pengawasan Prokes Rangkaian Perayaan Siwaratri

Sebagai teks sastra jelas memerlukan daya asah dan daya gugah untuk mampu menelaah sekaligus membedah serat tattwa (filosofi) di balik satua (narasi/cerita) tentang tokoh sentral Lubdhaka yang katanya banyak berbuat salah dan dosa tetapi kemudian berhasil mencapai Siwaloka (surga). Bagaimana kemudian di era kekinian dapat mentransformasi tokoh Lubdhaka menjadi sosok fenomenal yang dapat menginspirasi dan motivasi umat mengatasi menyebarnya pandemi corona yang semakin menjadi-jadi. Tentunya memerlukan kecerdasan intelektual yang bersifat rasional dengan menggunakan akal agar mewabahnya pandemi Covid-19 bisa segera teratasi.

Melalui pelaksanaan hari suci Siwaratri dengan Tri Bratanya yang secara tattwa bertujuan atutur ikang atma ri jatinya (mencapai kesadaran sang Atma), setidaknya dapat di-breakdown menjadi semacam pola tingkah laku umat Hindu untuk “sadar diri” mematuhi protokol kesehatan.

Baca juga:  RUU Permusikan Belum Final

Mulai dari brata upawasa dan mona yang secara harfiah berarti tidak makan-minum dan berbicara dapat dimaknai sebagai nasihat untuk tidak sembarangan membuka mulut, karenanya wajib ditutup dengan menggunakan masker. Begitupun dengan brata jagra yang berarti dalam keadaan sadar (eling) menjadi petunjuk bagi umat untuk selalu ingat mencuci tangan dan menjaga jarak.

Di dalam teks Lontar Lubdaka yang ditulis Mpu Tanakung dengan jelas dikemukakan perihal pelaksanaan Siwaratri dengan kewajiban awal pada pagi harinya membersihkan diri (mandi), tentunya dengan sabun agar bersih (steril) dan sehat (hieginis). Selanjutnya mengenakan busana yang juga bersih, rapi dan sopan, lalu bersiap mengikuti rangkaian upacara suci Siwaratri, dengan menjalankan brata upawasa, mona dan jagra. Ketiga brata ini sejatinya tidak hanya berhubungan dengan jasmani (tidak makan-minum dan melek), tetapi sekaligus juga berdimensi rohani, yaitu melatih disiplin agar selalu kuat fisik-mental (lahiriah-bathiniah), dan material-spiritual, yang sangat berguna bagi penguatan sang diri. Meliputi, Iman (sraddha) semakin kokoh, fisik bertambah imun (sehat), sehingga dengan perasaan aman dan nyaman dapat menjalankan segala kewajiban (swadharma) berkehidupan, serta dijauhkan dari segala masalah termasuk musibah wabah Corona yang benar-benar membuat umat manusia merana.

Baca juga:  Fenomena ”Seminar” Kian Eksis

Melalui pelaksanaan ritual suci Siwaratri umat juga dapat memanfaatkannya dengan melakukan sambang samadhi, semalam suntuk melakukan kontemplasi seraya memohon pengampunan dan peleburan atas dosa-dosa yang diperbuat untuk pulihnya kembali kondisi harmonis atas seluruh makhluk ciptaan Tuhan di alam semesta ini. Tokoh Lubdhaka, yang dimunculkan dalam narasi Kakawin Siwaratrikalpa sebagai seorang ‘pemburu’, sesungguhnya adalah gambaran kita saat ini seakan berada pada dua kutub: antara diburu atau memburu corona. Kenyataannya, virus corona sudah “mralina”, memburu dan akhirnya memakan korban hampir dua juta jiwa melayang untuk kembali pada Sang Pemilik: Siwa itu sendiri.

Jika umat tidak patuh dan taat menjalankan brata protokol kesehatan, diprediksi akan semakin bertambah banyak lagi korban nyawa berjatuhan dimangsa destimaya bhuta corona, yang kini bahkan telah melahirkan varian (generasi) baru yang konon lebih mematikan. Sudah saatnya umat Hindu dengan mengingat pesan ibu “3M” tampil sebagai sosok Lubdhaka kekinian yang siap memburu virus Corona agar secepatnya kembali ke alamnya (somya) sehingga tidak lagi ngrubeda (mengganggu) apalagi mralina (mengembalikan) jiwa-jiwa manusia yang mungkin saja belum saatnya kembali pada-Nya.

Penulis, dosen UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *