Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.
Abad ke-21 disebut sebagai abad disrupsi karena perubahan terjadi sangat cepat yang didukung oleh kemajuan teknologi informasi yang sangat pesat. Teknologi informasi telah mengubah banyak hal dalam kehidupan kita, seperti cara berkomunikasi, cara mengajar, cara belajar, cara berbelanja, dan berbagai macam kegiatan lainnya.
Teknologi telah mengubah semua tatanan kehidupan dengan cepat, sehingga kita perlu menanggapi perubahan ini lebih cepat dan hendaknya beradaptasi dengan perubahan tersebut. Seperti pepatah yang mengatakan “Hanya perubahan yang kekal”. Jadi, kita mau tidak mau harus mengikuti perubahan kalau tidak ingin ditinggalkan oleh perubahan itu sendiri.
Kata ‘agile’ secara harfiah bermakna tangkas atau cekatan. Orang yang tangkas atau cekatan adalah orang yang mampu bergerak cepat. Secara lebih luas dapat dimaknai bahwa orang yang agile adalah orang yang tangkas atau cekatan, yang mampu bergerak cepat dalam menyesuaikan dirinya dengan perubahan yang sedang terjadi agar dapat membawa dirinya pada kemajuan yang ingin dicapai.
Berdasarkan makna di atas, maka sudah sepatutnya para pembelajar Indonesia hendaknya mampu membangun budaya agile yakni tangkas dan cekatan dalam bergerak cepat menyesuaikan diri dengan perubahan bila ingin meraih kemajuan dan kesuksesan dalam pembelajaran.
Ada beberapa hal yang patut diperhatikan dalam usaha membangun budaya pembelajar agile. Pertama adalah kemampuan berkomunikasi. Kemampuan berkomunikasi menjadi sangat penting dalam era disrupsi ini. Komunikasi tidak lagi dilakukan secara tatap muka saja, tetapi lewat virtual, yakni melalui pembelajaran daring.
Melatih keberanian dan keterampilan berkomunikasi sangat penting di abad ke-21 ini, sebab semua pengetahuan, ide, gagasan, dan produk disampaikan melalui komunikasi apakah secara lisan ataupun secara tertulis. Oleh karena itu, bila pembelajar Indonesia ingin menggapai kemajuan dan kesuksesan, mereka harus terampil dalam berkomunikasi. Kemampuan berkomunikasi ini akan semakin bagus bila tidak hanya dalam satu bahasa, namun multibahasa. Dengan kemampuan multibahasa tersebut, kelak mereka dapat membangun jejaring (networking) yang meluas di masyarakat global (global society).
Selanjutnya adalah melatih pembelajaran mandiri (self-directed learning). Pembelajar agile adalah mereka yang mampu mengatur dirinya sendiri dalam membelajarkan diri. Dengan keterbatasan belajar dari rumah pada era kenormalan baru di masa pandemi Covid-19, mereka tidak mesti hanya tergantung pada instruksi dari guru dalam mempelajari materi tertentu, mereka dapat dengan cepat mencari dan menemukan sendiri segala sesuatu yang penting untuk dieksplorasi dan dikuasai.
Mereka dapat menentukan sendiri apa dan bagaimana mereka mencari tahu pengetahuan tertentu yang relevan dengan gaya belajarnya sendiri. Dengan demikian, belajar menjadi lebih menyenangkan karena tidak ada paksaan dari pihak manapun. Mereka harus mampu mengevaluasi kemajuan belajarnya sendiri, sehingga mereka dapat menentukan sikap dalam mengkaji lebih dalam dan merevisi sendiri capaian sebelumnya untuk menjadikannya lebih baik.
Berkolaborasi menjadi demikian sangat penting dalam abad ke-21. Tanpa kolaborasi, seseorang tidak akan sukses dalam hidupnya. Bagi pembelajar yang agile, mereka harus membangun budaya bekerja sama dengan teman ataupun dengan gurunya. Guru hendaknya jangan dianggap sebagai ‘raja atau ratu’ yang harus dilayani dan dihormati, namun jadikanlah mereka sebagai teman belajar atau orangtua yang mengajar anaknya. Dengan cara demikian, pembelajar tidak akan merasa terasing atau takut kepada guru. Tapi sebaliknya, mereka akan menjadi lebih berani sehingga belajar menjadi lebih menyenangkan.
Belajar mandiri penting, namun tidak berarti selalu belajar menyendiri. Ketika mereka tahu bahwa dirinya belum paham terhadap suatu konsep, maka sudah selayaknya pembelajar agile dengan cepat dan sigap berani berkomunikasi yakni kepada teman dalam satu tim atau kepada guru untuk mendiskusikan atau menanyakan sesuatu yang masih mengganjal pemahamannya. Dengan cara demikian, mereka dapat dengan cepat memecahkan masalahnya, bukan mendiamkan permasalahan apalagi sampai membuat stres dan akhirnya menjadi gagal dalam belajar.
Pembelajar agile hendaknya berlatih menjadi go mobile yang artinya bukan hanya menggunakan perangkat bergerak seperti telepon pintar dalam belajar, namun lebih kepada fleksibilitas belajar. Bahwa belajar bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Belajar saat ini tidak mesti terjadi di ruang-ruang kelas dengan sekat-sekat, namun sudah tanpa sekat dan tanpa batas. Belajar bisa dari rumah, dari kafe, dari kebun bahkan dari toilet dengan memanfaatkan perangkat yang mudah bergerak tersebut dan mengenai kapan belajar, pembelajar agile mampu menyesuaikan saatnya yang tepat, sepanjang tentu saja ada niat dan komitmen yang kuat pada dirinya.
Terakhir adalah perlunya mengembangkan pembelajaran berkelanjutan (continuous learning). Belajar terjadi bukan sekali atau dua kali. Belajar memerlukan pengulangan-pengulangan dalam rangka menguasai sesuatu apalagi sampai pada tataran mengaplikasikan pengetahuan bahkan mengkreasikan sesuatu yang inovatif dari pengetahuan yang dimiliki. Belajar berkelanjutan adalah proses yang tidak pernah berakhir.
Pembelajar agile adalah mereka yang tanpa henti terus mengasah dirinya untuk mencapai hal-hal yang lebih baik yang didasari oleh rasa ingin tahu yang kuat (strong curiosity) agar mampu menjadi pribadi yang sukses baik secara nasional ataupun mengglobal, seperti kata bijak yang disampaikan oleh ilmuwan mendunia Albert Einstein; “I have no special talent, I am only passionately curious”, yang menegaskan bahwa rasa ingin tahu yang besar itulah yang membawanya pada kesuksesan dan intelektualitas yang tinggi, bukan pada talenta istimewa. Hal ini bukan berarti memiliki talenta istimewa tidak penting. Yang lebih penting justru rasa ingin tahu agar pembelajar mampu mencari dan menemukan pengetahuan yang ingin dikuasai dalam menuju kesuksesan hidupnya.
Penulis, Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha