Oleh IGK Manila
Wacana pariwisata halal di Indonesia menghangat kembali setelah pergantian Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) pada Desember 2020 lalu. Dalam wacana yang lebih berupa polemik tersebut bukan hanya ada istilah “wisata halal” tetapi juga “wisata religi”. Inti polemiknya adalah terkait wacana untuk menjadikan destinasi wisata tertentu sebagai wisata halal atau religi.
Kebijakan pemerintah, melalui Menparekraf, adalah menyudahi polemik dan menyerahkan pengelolaan pariwisata kepada daerah. Sebagai contoh, setelah bertemu dan berdiskusi dengan Gubernur Bali, disepakati bahwa Bali akan tetap menjalankan pariwisata berbasis budaya dan kearifan lokal. Fokus penanganan sektor pariwisata saat ini adalah pada pemulihan karena terdampak pandemi Covid-19.
Penggunaan istilah “halal” dan “haram”, yang identik dengan agama tertentu, pada dasarnya akan mengundang polemik dan oleh karena itu harus disertai kehati-hatian. Apalagi dalam konteks Indonesia yang sangat beranekaragam secara kultural, soal halal-haram telah lama menjadi sumer pertikaian, baik yang manifes maupun secara laten.
Kalkulasi Ekonomi
Secara ekonomi, kita bisa saja berdebat panjang. Pertama-tama mari kita lihat data yang dirilis Thomson Reuters, perusahan media multinasional yang berbasis di Kanada. Di sepanjang tahun 2014, wisatawan Muslim di seluruh dunia membelanjakan sekitar 142 miliar dolar, di mana itu tidak termasuk untuk kegiatan haji dan umrah. Untuk perbandingan, para pelancong dari negeri Tiongkok menghabiskan 160 milliar dan wisatawan Amerika Serikat sebanyak 143 miliar.
Sementara itu, data dari CrescentRating dalam Global Muslim Travel Index 2017, salah satu lembaga yang bergerak dalam penyediaan data terkait wisata halal, belanja wisatawan Muslim mencapai 156 milliar dollar pada 2016. Jika saja pandemi Covid-19 tidak terjadi, lembaga ini memperkirakan kontribusi wisatawan Muslim akan mencapai 220 milliar dolar pada 2020.
Hemat saya, jika data-data seperti di atas yang menjadi pertimbangan kalangan yang menginginkan pengembangan pariwisata halal atau religi, akan terasa naif sekali. Kesalahannya adalah pada asumsi bahwa nilai 140-220 milliar dolar yang dinyatakan sebagai nilai belanja wisawatan Muslim dianggap sebagai representasi dari keharusan adanya pariwisata yang betul-betul sesuai dengan ajaran tertentu.
Dalam konteks Bali, misalnya, atau sesuai pengalaman saya mengunjungi destinasi wisata di berbagai belahan dunia, wisatawan Muslim juga ternyata berkunjung saja, terlepas dari apakah di sana terdapat fasilitas-fasilitas yang sesuai dengan ajaran agama mereka. Seiring dengan itu, para pengelola pariwisata pada dasarnya juga sudah paham jika terdapat wisatawan Muslim yang berkeinginan menjalankan keyakinannya. Atau sejak awal, wisatawan Muslim juga sudah paham akan konsekuensi dari mengunjungi destinasi tertentu.
Singkat kata, menurut saya, para wisatawan, terlepas dari agama apapun yang mereka anut, pada dasarnya adalah orang-orang dewasa yang secara sadar ingin menikmati keindahan alam, keragaman budaya, dan seterusnya. Justru karena adanya unsur perbedaan dari keseharian, kebaruan atau unsur kejutan yang menyebabkan mereka bersedia berpariwisata. Sedangkan mengenai kenyamanan dan kemudahan, pihak pengelola obyek pariwisata cukup menyediakan fasilitas-fasilitas yang baik yang diperlukan tanpa perlu menggembar-gemborkan aspek perbedaan keyakinan.
Kebhinekaan
Indonesia memang merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Ada juga dengan jumlah yang lebih kecil negara seperti Turki dan Malaysia. Namun perlu dicatat bahwa Indonesia berbeda dari kedua negara ini. Selain karena faktor kebinekaan kultural, struktur geografis, demografis, dan obyek-obyek wisata sendiri, aspek kultural-politik Indonesia tidaklah sama. Demikian pula, kita harus memperhatikan tingkat “kecanggihan” pengelolaan pariwisata kita sendiri.
Tindakan copy-paste oleh karena itu amat riskan. Faktor pertama terkait situasi dan kondisi politik riil Indonesia saat ini. Ketika berwacana secara serampangan, meskipun bisa saja niat yang diusung baik, kesalahan penerimaan, interpretasi yang sembarangan dan “penggorengan isu” akan mudah sekali memecah-belah masyarakat. Kepekaan para pejabat politik dan publik oleh karena itu amat diperlukan. Pendekatan populis—di mana segmen terbesar masyarakat hendak diolah secara politik—jangan lagi digunakan.
Faktor berikutnya terkait dengan kondisi ekonomi masyarakat banyak. Bagi masyarakat yang berbasis ekonomi pariwisata, kondisi mereka saat ini seperti orang-orang yang terendam banjir sampai ke leher. Sedikit saja air naik atau bergelombang, mereka bisa saja tenggelam. Gonjang-ganjing pariwisata yang bersifat makro—seperti ketika seorang pejabat politik melempar isu pariwisata halal di Bali—pada dasarnya membuat mereka yang sudah megap-megap menjadi semakin kepayahan. Kalau pemerintah pusat betul-betul hendak membantu masyarakat banyak, sebaiknya langsung bersifat mikro dan menyentuh nadi perekonomian mereka.
Faktor ketiga terkait kecanggihan pengelolaan pariwisata. Masalahnya bukanlah pada soal halal atau haram. Akan tetapi, persoalan pariwisata dan ekonomi kreatif kita adalah pada daya jangkau dan keberfungsian sistem. Sebab justru keberadaan sistem yang canggih dan fungsional inilah yang menjadi penjamin utama keberlanjutan pariwisata.
Dalam hal ini, bukan rahasia lagi misalnya, kalau sektor pariwisata juga mengalami birokratisasi yang eksesif. Hal ini kemudian menyedot berbagai sumber daya—keuangan, sumber daya manusia dan seterusnya—ke dalam labirin tanpa ujung. Dana pengembangan pariwisata yang semestinya lebih banyak mengalir di lapangan justru diserap oleh birokrasi. Sumber daya manusia pariwisata yang dibiayai negara, yang seharusnya bekerja keras di lapangan, justru berebut untuk duduk di belakang meja dalam gedung-gedung pemerintah. Sehingga, jika bukan karena kontribusi swasta, pariwisata Indonesia sudah lama tenggelam.
Data dan Alternatif
Ketika peluang wisatawan asing untuk berkunjung ke Bali dalam masa pandemi ini amat kecil atau mungkin tertutup, pasar wisawatan domestik juga harus disadari belum tentu seperti yang dibayangkan. Kita harus betul-betul berhitung misalnya bahwa terdapat wisatawan yang memang secara reguler berkunjung ke Bali, ketika juga terdapat wisatawan yang non-reguler, seperti mereka yang berkunjung untuk pertama kalinya, tergantung musim dan seterusnya.
Saat ini, oleh karena itu adalah saat yang tepat untuk memperbarui sistem pendataan dan datanya, sehingga asumsi, sikap dan tindakan pemerintah menjadi lenbih terukur.
Selain itu, berbicara mengenai sektor ekonomi kepariwisataan secara lebih luas, dalam kondisi di mana daya beli pariwisata masyarakat pasti menurun, aspek ekonomi kreatif yang sebenarnya justru harus digenjot. Pasarnya juga tidak bisa hanya dipatok dalam wilayah Bali—terutama karena adanya kunjungan wisatawan—tetapi juga harus menjangkau luar Bali.
Oleh karena itu, jika pemerintah pusat benar-benar hendak membantu dunia kepariwisataan Bali, gagasan, sikap dan tindakan kongkrit harus diarahkan untuk pengembangan ekonomi-kreatif ini. Bukan dengan melempar isu-isu yang pada dasarnya destruktif dan bertujuan populis semata.
Penulis Gubernur Akademi Bela Negara (ABN) Partai NasDem
batas halal – haram gak jelas…
merokok saja ada yg bilang haram, tapi tetap saja orang banyak menikmatinya…