BANGLI, BALIPOST.com – Kasus Covid-19 di Kabupaten Bangli terus mengalami lonjakan akhir-akhir ini. Berdasarkan data terakhir yang dirilis Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kabupaten Bangli, per Minggu (24/1) terjadi lonjakan 40 kasus. Di sisi lain, sejak awal munculnya kasus covid-19 di Kabupaten Bangli Maret 2020 lalu, terdapat delapan desa yang belum pernah mencatatkan adanya kasus covid-19.
Sebagaimana yang diungkapkan Humas Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kabupaten Bangli I Wayan Dirgayusa Senin (25/1), dengan adanya tambahan 40 kasus per Minggu (24/1) total jumlah kasus terkonfirmasi positif di Kabupaten Bangli telah mencapai angka 1.150 kasus. Namun dari jumlah itu yang masih dirawat sebanyak 125 orang, sedangkan 982 orang sudah sembuh.
Dirgayusa mengungkapkan sudah hampir setahun covid-19 melanda Kabupaten Bangli. Berdasarkan catatannya, kasus covid di Bangli pertamakali muncul pada 22 Maret 2020. Dari 72 desa/kelurahan di Kabupaten Bangli, terdapat delapan desa yang sampai sekarang belum pernah ada muncul kasus terkonfirmasi covid-19. Oleh pihaknya desa-desa tersebut digolongkan sebagai zona hijau atau desa tidak terdampak covid.
Adapun delapan desa tersebut yakni Banua, Bayung Cerik, Binyan, Gunung Bau, Katung, Kutuh, Lembean dan Mengani. Semuanya ada di Kecamatan Kintamani.
Menurut Kadiskominfosan Kabupaten Bangli itu, ada beberapa hal yang membuat desa tersebut tidak terdampak covid-19. Secara geografis, desa-desa tersebut merupakan desa kecil. Dari sisi pelaksanaan prokes, kedelapan desa tersebut sangat disiplin dan melaksanaannya dengan baik. Saat kasus covid-19 sedang merebak di tahun 2020 lalu, kedelapan desa tersebut juga membatasi warganya yang tinggal di luar desa untuk pulang kampung. “Jadi saat kasus sedang tinggi-tingginya warganya yang tinggal di luar desa, dilarang balik ke rumah (ke kampung) dulu. Mereka diminta standby sementara waktu di tempat perantauan,” jelasnya.
Selain itu, kedelapan desa tersebut juga sangat membatasi kegiatan adat yang berpotensi mengundang keramaian. “Pelaksanaan rapat-rapat juga dibatasi,” ujarnya.
Kedelapan desa itu, juga disebutnya, adalah desa terakhir yang melaporkan berhenti melakukan penjagaan di pinggir jalan/perbatasan desa. Rata-rata desa lainnya sudah selesai melakukan penjagaan di perbatasan desa di bulan Juli. Namun kedelapan desa itu baru berhenti melakukan penjagaan sekitar bulan September. “Ada catatanya,” imbuh Dirgayusa. (Dayu Rina/Balipost)