Majelis Hakim Pengadilan Tipikor saat menggelar sidang secara online. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Majelis hakim pimpinan Angeliky Handajani Day dengan hakim anggota Miptahul dan Hartono, Selasa (26/1) mulai mengadili perkara dugaan korupsi di bagian pengeluaran Sekretariat (Setda) Provinsi Bali. Duduk sebagai terdakwa dalam sidang virtual itu adalah pensiunan PNS sekaligus mantan Bendahara Pengeluaran Setda Proivinsi Bali, I Wayan Wiantara, SP.

Sebagaimana dalam surat dakwaan JPU I Made Agus Sastrawan, terdakwa Wiantara bertugas sebagai bendahara berdasarkan SK Gubernur Bali. Saat itu, terdakwa secara bertahap melakukan pencairan anggaran untuk UP (uang persediaan) maupun GU (ganti uang) sebesar Rp 41.110.536.440.

Dari pencairan uang Rp 41,1 miliar itu, oleh terdakwa secara bertahap melimpahkan kepada sembilan BPP (Bendahara Pengeluaran Pembantu) di sembilan Biro Setda Provinsi Bali. Namun dari jumlah itu, yang diserahkan oleh terdakwa hanya Rp 37.730.284.661.

Sehingga ada selisih Rp 3.338.251.779. Dari jumlah uang yang diserahkan oleh terdakwa ke BPP di sembilan biro setda senilai Rp 37,7 miliar tersebut yang dipergunakan dan dipertanggungjawabkan dalam SPJ UP maupun GU oleh sembilan Biro Setda Provinsi Bali hingga akhir tahun 2016.

Baca juga:  Dua Proyek Peningkatan Jalan di Nusa Penida Gagal Terealisasi

Rinciannya, Biro Umum Rp 14 miliar lebih, Biro Humas Rp 4,6 miliar, Biro Pemerintahan Rp 1,7 miliar, Biro Keuangan Rp 2,1 miliar, Biro Ekbang Rp 1,05 miliar, Biro Hukum dan HAM Rp 1,3 miliar, Biro Organisasi Rp 950 juta, Biro Kesra Rp 7,5 miliar dan Biro Aset Rp 3,5 miliar.

Berdasarkan Keputusan BPK RI tertanggal 1 Agustus 2018 tentang Pembebanan Kerugian Daerah menyatakan dari sembilan biro, ditemukan enam biro yakni Biro Humas, Biro Pemerintahan, Biro Ekbang, Biro Oganisasi, Biro Kesra dan Biro Aset yang masih ada sisa UP maupun GU yang tidak habis dipergunakan atau dibelanjakan. Seluruhnya sebesar Rp 1.213.566.548.

Baca juga:  KPK Diduga OTT Bupati Nganjuk

Sisa anggaran yang tidak habis digunakan oleh enam biro tersebut, oleh BPP pada enam biro dikembalikan kepada terdakwa selaku Bendahara Pengeluaran Setda Provinsi Bali. Namun dari sisa Rp 1.213.566.548., tersebut yang dikembalikan dan diterima terdakwa selaku bendahara pengeluaran hanya Rp 587.471.649.

Berdasarkan rincian BPP pada Biro Aset menerima pelimpahan UP/GU keseluruhan Rp 3,8 miliar, dan yang dipertanggungjawabkan hanya Rp 3,170 miliar. Sehingga BPP pada Biro Aset seharusnya mengembalikan sisa Rp 676.094.899, namun yang dikembalikan pada terdakwa Wiantara hanya Rp 50 juta. Sisanya Rp 626.094.899 tetap berada pada BPP pada Biro Aset atas nama saksi I Nyoman Pasek.

Masih kata jaksa dalam surat dakwaanya, dari rincian tersebut masih ada selisih uang panjar yang tidak diserahkan oleh terdakwa pada BPP sembilan biro sebesar Rp 3.380.251.799., ditambah dengan pengembalian sisa panjar UP maupun GU dari BPP enam biro yakni Biro Humas, Pemerintahan, Ekbang, Organisasi, Kesra dan Aset, kepada terdakwa sebesar Rp 587.471.649., tersebut, sebagian digunakan terdakwa untuk berbagai pengeluaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya sebesar Rp 950.812.799., sehingga pada terdakwa masih terdapat sisa uang Rp 3.016.910.629.,

Baca juga:  Warga Keluhkan Tumpukan Sampah di TPA Butus

Selain menggunakan uang TA 2016 untuk penyetoran ketekoran kas tahun 2015 sebesar Rp 455.660.550, dan menggunakan uang untuk kepentingan pribadi terdakwa Rp 3.016.910.629, diduga terdakwa menggunakan UP maupun GU untuk Belanja Operasional Penunjang Kepala Daerah (BPO KDH) sebesar Rp 1.545.440.

Sehingga akibat perbuatan terdakwa, kerugian keuangan negara dalam hal ini Keuangan Pemprov Bali sekitar Rp 3.474.116.619. Dalam perkara ini, mantan bendahara pengeluaran Setda Provinsi Bali itu dijerat Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, Jo Pasal 18 UU Tipikor. (Miasa/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *