DENPASAR, BALIPOST.com – Forum Koordinasi Hindu Bali yang terdiri dari beberapa kumpulan organisasi masyarakat bernafaskan Hindu Bali mendatangi Kantor DPRD Bali, Rabu (27/1). Kedatangan mereka mengkritisi Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali dengan Majelis Desa Adat (MDA) Bali terkait pelarangan sampradaya yang dirasa belum maksimal sampai di tingkat desa adat.
SKB yang dikeluarkan dianggap sebagai obat penenang sementara menghindari kekisruhan. Ketua Forum Koordinasi Hindu Bali, Wayan Bagiarta Negara, menjelaskan forum yang beranggotakan dari unsur organisasi yang memiliki legalitas dan bernafaskan Hindu Bali ini terbentuk atas kepedulian dan perhatian terhadap situasi tradisi sosial budaya yang ada di Bali.
Sebagai ormas yang bergaul di tatanan masyarakat horizontal di bawah, pihaknya menilai ada sesuatu yang dianggap dapat menyebabkan iritasi-iritasi tatanan kehidupan Hindu Bali yang telah memiliki pola kehidupan.
Iritasi itu pun disebutkan adanya sampradaya yang sempat membuat kekisruhan di tengah masyarakat Hindu Bali. Sehingga sempat diambil kebijakan dan menghasilkan SKB yang dibuat oleh PHDI Bali dengan MDA Bali.
Hanya saja keberadaan SKB tersebut dianggap oleh mereka belum maksimal sampai di tengah masyarakat, khususnya dalam pemahaman dan sejauh mana pelarangan sampradaya tersebut. SKB itu merupakan nomor 106/PHDI-Bali/XII/2020 dan 07/SK/MDA-Prov Bali/XII/2020 yang membatasi kegiatan pengembanan ajaran sampradaya non-dresta Bali di Bali.
“Surat (SKB, red) itu belum mengena sampai tingkat bawah, entah siapa yang diinstruksikan oleh jajaran MDA maupun PHDI sampai tingkat kecamatan, sampai dengan desa adat tidak nyambung. Kami perhatikan di bawah tetap melihat semacam ada keraguan, apabila dilaksanakan kata dilarang berarti itu harus dilakukan. Hanya saja saat ini tidak berlaku efektif,” sorotnya.
Dalam kesempatan itu, perwakilan dari Swastika Bali, Ida Bagus Giri Suprayatna, berpandangan SKB tentang sampradaya menyangkut wilayah Bali dan manusia Bali. “SKB ini mem-frame manusia Hindu Bali. Namun ini menimbulkan kebingungan, padahal organisasi ini memiliki kekuatan, kaitannya dengan kepemerintahan. Bahkan keberadaan SKB malah membuat semakin blunder di lapangan dan seakan adanya kesepekang, kami hanya ingin nge-ajegan Bali,” tandasnya.
Wakil Ketua I DPRD Provinsi Bali, I Nyoman Sugawa Kori menanggapi permasalahan yang disampaikan tersebut. Ia menjelaskan latar belakang dibentuknya SKB itu tentu ada sebuah proses dan pembahasan sebelumnya.
Salah satunya yang diakibatkan adanya sebuah gesekan di bawah terkait kegiatan sampradaya. “esekan ini kalau dibiarkan akan ada sebuah potensi yang merugikan, dan sekarang terhadap masyarakat Bali. Melandasi Pura Samuan Tiga, terdahulu adanya sekta-sekta tidak terkendalikan hingga Mpu Kuturan menangani permasalahan itu di Bali. Kemudian sampai ada merumuskan adanya Tri Murti dan Khayangan Tiga,” tandas politikus Partai Golkar ini.
Disebutkan, berbagai sekte tersebut berkembang hingga sekarang. Namun semua itu diikat dalam suatu kesepakatan bersama yang ada di tingkatan desa adat. Kemudian adanya masyarakat adat, yang dicirikan adanya Khayangan Tiga dan kaitannya di bawah falsafat Tri Hita Karana.
“Sebenarnya tidak masalah, ketika ada sampradaya atau apakah organisasinya selama tidak mengganggu eksistensi desa adat tidak masalah. Namun kalau ada terjadi sesuatu dan menimbulkan persoalan kami di DPRD juga sangat setuju dilakukan tindakan,” tandasnya.
Sugawa Kori juga menambahkan, DPRD akan memberikan dorongan kepada eksekutif melalui Gubernur Bali berkoordinasi dengan MDA dan PHDI. Supaya sosialisasi SKB terkait sampradaya ini lebih dintensifkan, dan apa yang dimaksud dari SKB itu agar dipahami dan dapat dilaksanakan di tingkat bawah. “Komunikasi harus dibangun sebaik -baiknya, ini cerminan dari desa adat,” pungkasnya. (Winatha/balipost)