Ilustrasi. (BP/Suarsana)

DENPASAR, BALIPOST.com – Penambahan kasus Covid-19 di Bali mencapai puncaknya pada Selasa (26/1) dengan mencatat tambahan kasus harian 542 orang. Ini artinya, pandemi Covid-19 belum ada tanda-tanda akan berakhir dalam waktu dekat ini, walaupun banyak negara yang sudah memulai vaksinasi termasuk di Indonesia.

Sejumlah kebijakan perlu dievaluasi dan diluruskan yakni fokus pada tindakan pengawasan protokol kesehatan (prokes) 3M yang tepat sasaran, baik pada lokasi maupun pada orangnya. Akademisi peraih gelar doktor bidang public health Institut Teknologi dan Kesehatan (Itekes Bali) I Ketut Swarjana, SKM., M.Ph., Dr. PH. mengatakan hal itu, Rabu (27/1).

Swarjana mengingatkan, pemerintah dan semua komponen bangsa harus terus berusaha dan dan menemukan langkah lebih serius dan efektif dalam penanggulangan COVID-19. Apalagi, virus ini sangat mudah dan cepat untuk bermutasi serta mengadaptasi diri. Konsekuensinya adalah virus ini sekian kali lipat lebih mudah menular dari sebelumnya.

Sebetulnya, kata dia, sudah banyak upaya pemerintah pusat maupun daerah untuk mencegah penularan atau paling tidak mengendalikan penularan Covid-19. Namun, sejauh ini masih sangat jauh dari harapan. Pemerintah kini menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) khsusnya untuk Jawa dan Bali. Ide dan tujuannya baik, tetapi tidak cukup hanya ideal di atas kertas.

Baca juga:  Tak Ingin Lengah, Tabanan Siapkan Antisipasi Gelombang Omicron

Pemerintah perlu memikirkan operasioanal atau implementasi di lapangan. Siapa yang memonitor pelaksanaannya. Seberapa jauh bisa dimonitor, seberapa luas daerah atau wilayah yang bisa dimonitor, seberapa banyak SDM yang diperlukan, serta dukungan dananya. “Bagian tersulit adalah implementasi di lapangan. Misalnya di banjar-banjar, di fasilitas umum, di tempat kerja bagaimana pengawasannya. Tidak cukup hanya menjaring pengendara di jalan untuk memastikan penggunaan masker. Potensi penularan tertinggi bukan di jalan. Risiko tinggi penularan ada di tempat kerja terutama yang bekerja di dalam ruangan, pasar tradisional dan modern, kegiatan upacara, acara keluarga besar, acara kantor dan lain-lain yang dalam praktiknya melibatkan banyak orang dan banyak yang acuh terhadap protokol kesehatan. Di pasar tradisional misalnya siapa yang memberi sanksi jika terjadi kerumunan dan tak adanya jarak pada pedagang pelataran,” katanya memaparkan.

Baca juga:  Musim Liburan, Jalan Raya Uluwatu Jimbaran Makin Krodit

Swarjana menegaskan, WHO sudah mengingatkan bahwa memakai masker saja tidak cukup, harus diimbangi dengan menjaga jarak dan mencuci tangan sesering mungkin terutama setelah menyentuh benda yang dicurigai ada virusnya. Maka, tidaklah mengherankan jika selama PSBB maupun PPKM penularan akan terus terjadi dan cenderung meningkat akibat penerapan prokes yang masih jauh dari harapan.

Ia menambahkan, sudah ada banyak studi tentang penerapan prokes, namun hasilnya masih jauh dari harapan. Di lapangan masih banyak masyarakat yang tidak patuh dengan prokes memakai masker, menjaga jarak serta mencuci tangan (3M). “Kesadaran sebagian masyarakat masih rendah tentang pentingnya prokes. Mereka tahu bahwa untuk pencegahan mereka perlu patuh dengan 3M. Tetapi, perilaku masyarakat memang sangat sulit untuk dirubah dalam waktu yang pendek,” ujarnya.

Baca juga:  Dukung Mudik Aman dan Sehat, Pemerintah Sediakan Aplikasi InaRisk

Menurut Swarjana, ada banyak hal sebenarnya yang dapat membuat masyarakat patuh. Di antaranya, sosialisasi yang intensif di semua media dengan berbagai cara-cara yang efektif, adanya panutan baik oleh pejabat pemerintah, tokoh masyarakat serta public figure, dan yang terakhir adalah sanksi ketat dan tegas yang memberikan efek jera kepada pelanggarnya. Sanksi bisa berupa sanksi uang yang nominalnya tinggi, pencabutan SIM, dan lain-lain sehingga masyarakat berpikir ulang untuk melanggar protokol kesehatan. “Pengawasan tak mungkin hanya mengandalkan TNI/Polri dan Satpol PP yang jumlahnya terbatas. Namun, harus melibatkan unsur lokal atau pecalang yang tahu benar soal kewilayahan. Pecalang ini mesti dilengkapi dengan APD (alat pelindung diri-red), minimal masker medis seperti tenaga kesehatan dengan dana yang memadai. Nah, siapa yang menanggung mereka?” tegasnya. (Sueca/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *