Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Prasasti Blanjong sebagai Monumen Keberaksaraan Bali. Ulasan dan analisis Sugi Lanus (Bali Post, 30/1) ini dengan gamblang memberi gambaran kepada segenap krama Bali betapa peradaban Bali telah menjadi bagian Sanskrit cosmopolis. Sri Kesari Warmadewa sebagai pendiri dinasti Warmadewa sadar telah menjadi bagian dari dinamika perkembangan sosio-politik Asia di abad 9-10.

Penulisan prasasti Blanjong dalam bahasa dan aksara yang jamak, seakan menegaskan bahwa Bali adalah bagian dari pergaulan internasional. Di satu sisi menggunakan bahasa Bali Kuno dengan aksara Pre-Nagari, sementara pada sisi prasasti yang lain menggunakan bahasa Sansekerta dengan aksara Bali Kuno/Kawi. Keduanya mengandung makna yang sama, mendeklarasikan Bali dalam satu kesatuan tata kelola.

Analisis Sugi Lanus juga menyampaikan keberadaan Pura Besakih sebagai pusat spiritual yang tertata sebagai titik poros mandala Sri Kesari Warmadewa. Sebagaimana raja-raja Medang Kemulan menetapkan wilayah Prambanan sebagai poros mandala spiritualnya, dan Borobudur sebagai pusat mandala corak Buddha Mahayana. Sementara dinasti Jayavarman sebagai pendiri dinasti Khmer dengan prinsip Siwa-Buddha Mahayana memiliki mandala kawasan Angkor Wat.

Melalui prasasti Blanjong, Sri Kesari Warmadewa meneguhkan jejak kekuasaannya yang segara-gunung. Membangun poros mandala Pura Besakih di pedalaman Pulau Bali dan prasasti Blanjong di tepian pesisir pelabuhan kuno Sanur yang menjadi pintu dunia luar. Bak beradab mendalam di pedalaman dan berkebudayaan terbuka di pesisir. Sungguh, di prasasti Blanjong-Sanur Sri Kesari Warmadewa mendeklarasikan monumen peradaban keberaksaraan Bali.

Baca juga:  Kesesatan Berpikir Dalam Debat

Bali masa kinipun terus menjaga intangible cultural heritage tersebut. Tak kurang dengan kehadiran Perda Bali No. 1/2018 Tentang Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali; yang berlanjut dengan diterbitkannya Pergub Bali No. 79/2018 tentang Hari Penggunaan Busana Adat Bali, serta Pergub Bali No. 80/2018 tentang Perlindungan Penggunaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali.

Semua ini bagai bahan bakar kebudayaan bagi tungku keberaksaraan Bali. Kebudayaan Bali sebagai wujud sebuah peradaban, telah mewariskan cultural heritage bagi krama Bali masa kini. Secara intangible cultural heritage muncul dalam bentuk bahasa dan aksara Bali, maupun berbagai tradisi kesenian Bali. Sementara wujud tangible cultural heritage tercermin dalam tradisi busana adat Bali maupun pura dan puri para nenek moyang krama Bali. Peradaban Bali memang mengalami pasang surut sesuai perubahan dan dinamika zaman.

Baca juga:  Lansia Belum Tentu Tidak Bahagia

Peradaban Bali

Paparan infiltrasi adat-budaya asing terhadap peradaban Bali adalah sebuah keniscayaan yang akan terus terjadi. Namun marwah peradaban Bali harus selalu kita jaga agar tetap berada dalam bingkai filosofi keseimbangan Tri Hita Karana sebagai mindset keseharian kehidupan krama Bali. Globalisasi dan percepatan teknologi informasi memang adalah sebuah keniscayaan.

Harus diakui bahwa secara adat, budaya dan agama, keseharian kehidupan krama Bali sejak lahir hingga meninggal dunia berada dalam tata kelola desa adat/pakraman. Desa adat di Bali yang diawali oleh para pengikut Maha Rsi Markandheya di abad ke-8 Masehi dan disempurnakan oleh Mpu Kuturan, memang telah menjadi identitas peradaban Bali. Lahirnya Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali telah memperkokoh keberadaan desa pakraman di Bali. Saat ini secara de jure desa pakraman memiliki legitimasi hukum sebagai objek hukum dalam sistem pemerintahan Provinsi Bali.

Kehadiran perangkat hukum ini dapat mengingatkan krama Bali akan jantung peradaban Bali.
Menjaga marwah peradaban Bali adalah berarti menjaga jati diri krama Bali. Peradaban Bali jelas termanifestasi dalam tradisi leluhur yang telah berlangsung secara turun menurun. Acapkali krama Bali tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya memiliki peradaban bercita rasa tinggi yang adiluhung, karena semua sudah serba take it for granted sejak mereka lahir.

Baca juga:  "Karahayuan," Efektivitas Pembukaan Pariwisata Bali

Marwah peradaban Bali harus didudukkan pada tempatnya di tengah deraan derasnya informasi global dalam era literasi digital. Kebudayaan Bali yang mewujud dalam aneka rupa tradisi sosial-budaya krama Bali adalah merupakan manifestasi marwah peradaban Bali. Kebudayaan Bali harus terus dilestarikan dalam tatanan dan mindset baru sesuai dengan konteks zamannya.

Eksistensi aksara Bali melalui penetapan 4 Februari sebagai hari aksara Bali, merupakan salah satu benteng peradaban Bali di tengah percepatan teknologi informasi. Pintu keterbukaan informasi digital global akan semakin lebar. Semua informasi, baik atau buruk akan dengan mudah masuk ke dalam kehidupan keseharian krama Bali. Diperlukan ketahanan digital dalam pribadi krama Bali agar peradaban Bali tidak terusik.

Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *