Oleh Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.
Sejak Bapak Gubernur Wayan Koster memimpin Bali, bahasa, sastra, dan adat tidak hanya dilestarikan, direvitalisasi, atau apapun istilahnya, tetapi diperlawankan dengan nasionalisme dan internasionalisme.
Gagasan utupis-nya menjadikan aksara dan bahasa Bali mendunia adalah contoh memperlawankan aksara Bali dengan aksara Latin, memperlawankan bahasa Bali dengan bahasa-bahasa resmi PBB.
Soal mendunianya bahasa, sastra, budaya Bali sudah tidak diragukan lagi namun hanya pada ranah penelitian. Sejak Jawa Kuno hingga masa menjelang Orde Baru berakhir, para sarjana internasional masih getol mengkaji Bali dari berbagai disiplin ilmu.
Studi sastra dan filologi memang sangat terkenal di kalangan peneliti era kolonial dan sesudah kemerdekaan. Katalog-katalog naskah Bali diterbitkan dan nyaris seluruh silsilah, persebaran, dan keberadaan suatu naskah telah dilacak.
Pada masa akhir era kejayaan riset sastra dan filologi Bali, peneliti lokal mulai terlibat secara mandiri dalam riset-riset tentang sastra dan aksara Bali. Sementara itu, sejak hancurnya hubungan Soeharto dengan IGGI, yang serta merta mempengaruhi dunia penelitian, minat sarjana Barat terhadap studi bidang ini di seluruh Indonesia, jatuh. Arah riset sudah berubah. Serta merta keadaan ini pun mempengaruhi semangat riset sarjana Indonesia. Studi-studi naskah, aksara, dan sastra lokal tidak lagi bergengsi di kancah akademik internasional.
Di tengah kejayaan, keagungan, dan martabat tinggi aksara Bali, tidak satu pun riset era kolonial melihat “nasib” masyarakat Bali pada umumnya, yang ternyata sepanjang sejarahnya hidup dalam kondisi buta aksara sepanjang hidupnya. Komentar Cliiford Geertz ketika mengkaji cara beragama dan peranan budaya literasi di dalamnya menyatakan bahwa orang Bali tidak suka membaca dan membahas pengetahuan agama karena jauh lebih penting mempraktikkan. Geertz tidak tahu akar persoalan tersebut. Ada politik pembiaran lokal kuno mendesain secara rahasia agar masyarakat buta aksara Bali.
Aksara Bali hanya dikuasai oleh segelintir orang Bali dan mereka menjadi kelompok elite di tengah masyarakat. Aksara adalah jalan untuk memasuki dunia literasi di Bali. Namun karena hanya sedikit yang yang melek aksara, transmisi dan sirkulasi pengetahuan tetap dalam lingkaran tradisi lisan.
Sementara itu, tidak ada yang menyadari bahwa melek aksara adalah hak bagi seluruh pemakai bahasa Bali. Anehnya mereka semua menerima kehidupan dalam kondisi buta aksara. Kaum elite yang melek aksara Bali pun bergeming dan membiarkan kondisi masyarakat yang buta aksara. Tidak ada usaha untuk membebaskan masyarakat Bali dari keadaan buta aksara; walaupun mungkin ada alasan yang menguatkan seperti keterbatasan teknologi atau fasilitas menulis, kesibukan sosial bekerja dan berupacara, dan tiadanya lembaga pendidikan.
Yang terjadi sebaliknya. Di dalam masyarakat lembaga-lembaga kasta menciptakan kondisi atau mitos-mitos yang menyeramkan untuk membendung akses masyarakat terhadap aksara Bali. Karena itu, masyarakat tidak terdorong mempelajari aksara. Justru, semakin menyurutkan niatnya. Mereka takut gila jika belajar aksara dan membaca lontar. Mitos ini diikuti oleh maksud tersembunyi elit tertentu bahwa yang punya hak atau kewenangan suci untuk membaca lontar hanyalah kaum atau kasta tertentu beserta orang-orang kebanyakan khusus yang telah masuk dalam jaringan yang dibangun.
Sementara orang Bali hidup dalam buta aksara dan ada dalam kondisi ketergantungan pengetahuan kepada kaum elit, lontar-lontar dilahap habis, secara diam-diam. Mereka benar-benar telah mempraktikkan konsep Foulcault, bahwa knoledge is power. Pengetahuan dalam lontar-lontar Bali yang disimpan dan direservasi di rumah-rumah yang tersembunyi, hanya dikuasai oleh kaum elite. Dengan konsep merahasiakan pengetahuan mereka mencuri terlalu masif aneka pengetahuan Bali yang telah dicapai oleh para leluhur. Kaum elite yang melek aksara itu, menggunakan pengetahuan untuk berbagai tujuan, yang terutama adalah tujuan ekonomi (dalam artian yang luas).
Mitos (gila kalau membaca aksara Bali) dan konsep merahasiakan pengetahuan (aja wera) berdampak sangat buruk. Seharusnya orang Bali melek aksara karena bahasa ibu mereka memiliki kekayaan aksara yang tidak dimiliki oleh setiap bahasa daerah di dunia. Para leluhur Bali, menciptakan aksara tetapi pada akhirnya diklaim hanya bagi kelompok elite.
Sampai akhirnya, tindakan membutaaksarakan orang Bali yang terjadi sejak awal dan berlangsung hingga menjelang berakhirnya kolonialisme, aksara Bali benar-benar akan dilupakan. Kali ini dengan masuknya bahasa Indonesia di Bali secara diam-diam namun tersistem secara politik, dan digunakannya aksara Latin. Pendidikan modern memang memilih bahasa Indonesia dan aksra Latin. Semakin ada alasan untuk melupakan aksara dan bahasa Bali dan tentu saja kondisi buta huruf. Memang muncul di dalam kurikulum formal namun hanya sebagai materi pelajaran dan bukan sebagai sarana belajar, seperti bahasa Indonesia dan aksara Latin.
Dalam era pemerintahan selanjutnya, Bali semakin menyadari kehilangan kekayaan budaya, yakni buta aksara dan pergeseran dari bahasa Bali sebagai bahasa ibu ke bahasa Indonesia. Para gubernur telah gagal mengembalikan bahasa Bali dan aksaranya ke dalam habitus alamiahnya, yakni kehidupan masyarakat. Banyak hal dilakukan, dari penulisan nama jalan dan kantor dalam dwibahasa, kongres bahasa, hari berbahasa Bali, dll.
Semua orang menyalahkan pendidikan yang tidak akomodatif. Modernisasi disalahkan juga karena tidak memberi ruang bahasa dan aksara Bali berkembang. Industri media kena tuduhan karena sama sekali tidak menggunakan bahasa dan aksara Bali dalam program-programnya. Keluarga-keluarga divonis tidak menghargai bahasa, sastra, dan aksara Bali karena tidak mengenalkan dan menggunakannya dalam keluarga. Para penerbit buku juga kena imbas. Karena tidak ada penerbit yang sudi menerbitkan buku berbahasa dan beraksara Bali. Pemerintah sendiri juga disalahkan karena tidak mau melindungi bahasa Bali. Lembaga universitas yang mendidik calon guru juga dituntut agar menyelamatkan bahasa dan aksara Bali dengan membuka prodi yang mencetak guru bahasa Bali.
Hampir semua orang telah mafhum terhadap klaim atau tuduhan tersebut. Namun tidak ada yang mencari akar masalahnya: mengapa orang Bali buta aksara (Bali)? Kondisi ini adalah produk politik lokal di masa lalu di mana dalam politik itu berkonstelasi kekuatan-kekuatan kelas sosial di tengah masyarakat. Ada gerakan yang secara halus bekerja terstruktur untuk menutup akses kepada aksara Bali. Gerakan ini membiarkan masyarakat buta aksara dan mengkonvensasi dengan cara yang jahat, melayani mereka dengan berbagai pengetahuan yang disampaikan secara lisan dan dalam kondisi ketergantungan. Karena itu, pengetahuan wariga hanya milik orang-orang tertentu. Setiap kali perlu dewasa atau hari baik, orang akan mendatangi kaum elite dan sudah tentu harus membayar jasa. Wariga tidak pernah menjadi pengetahuan bersama karena masyarakat dibiarkan buta aksara.
Kondisi ketergantungan semacam ini sedikit tidak mulai berkurang namun tidak terlalu signifikan; sejak I Ketut Bambang Gede Rawi menyusun kalender Bali dan mencetak dalam bahasa Indonesia dan aksara Latin. Jadi pengetahuan tertulis itu sampai kepada seseorang kalau yang bersangkutan memahami aksara yang digunakan. Inilah arti penting aksara dan literasi dalam kebudayaan tulis.
Penulis, dosen Undiksha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali