Oleh I Kadek Hendra Arthana Putra, S.H.
Pemilihan Umum di Republik ini diatur dalam dua UU, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum merupakan upaya penyatuan dan penyederhanaan landasan hukum bagi pemilihan umum secara serentak. Terdapat tiga UU yang disederhanakan dan disatukan, yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Sementara Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota merupakan penyempurnaan dengan mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. Salah satunya seperti yang ditentukan dalam Pasal 201 ditentukan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil Pemilihan tahun 2017 menjabat sampai dengan tahun 2022, hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023, hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024.
Selanjutnya pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024. Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022, tahun 2023 diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Wali Kota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Wali Kota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.
Kepentingan untuk penyatunaskahan pengaturan pemilu dan Pilkada dipandang perlu untuk mengatasi pengaturan yang bermakna ganda, sulit dipahami, tumpang tindih, tidak konsisten, dan tidak komprehensif, sehingga revisi UU Pemilu adalah suatu hal yang sangat penting hingga sudah masuk ke dalam Prolegnas Prioritas DPR RI. Draf revisi terhadap Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengatur rencana pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 2022 dan 2023. Hal tersebut berbeda dari UU sebelumnya yaitu, pelaksanaan pilkada serentak di seluruh provinsi, kabupaten, dan kota digelar pada 2024 mendatang, bersamaan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPRD, dan DPD.
Dalam penyusunan suatu norma, khususnya norma hukum kepemiluan tidak semata-mata mendasarkan pada aspek dinamika politik. Namun yang paling mendasar dalam pembentukan suatu norma atau peraturan perundang-undangan—yang terkodifikasi maupun tidak—selain secara hierarkis tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, juga harus berdasarkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, antara lain: asas keadilan, asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, asas ketertiban dan kepastian hukum dan/atau asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan.
Hal ini bersesuaian pula dengan Putusan Mahkamah Nomor 31/PUU-XVI/2018, bahwa rasionalitas di dalam menentukan pilihan pengaturan manajemen pemilu, merupakan isu konstitusionalitas yang berkaitan langsung dengan pemenuhan asas penyelenggaraan pemilu. Rumusan norma yang mengarah kepada election management yang rasional dan terukur merupakan perwujudan dalam upaya pemenuhan asas Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil untuk dilaksanakan oleh penyelenggara Pemilu;
Peninjauan dan penataan Pemilu Serentak dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah prinsip dasar keserentakan pemilihan umum dalam praktik sistem pemerintahan presidensial, yaitu tetap mempertahankan keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat tingkat pusat (yaitu DPR dan DPD) dengan pemilihan presiden dan wakil presiden. Pertimbangan demikian, didasarkan pada basis argumentasi bahwa keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat di tingkat pusat dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden merupakan konsekuensi logis dari upaya penguatan sistem pemerintahan presidensial;
terdapat sejumlah pilihan model keserentakan pemilihan umum yang tetap dapat dinilai konstitusional berdasarkan UUD 1945. Terlihat dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yaitu: 1).Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD; 2).Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota;3). Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota; 4). Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota; 5). Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota; 6). Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden;
Namun demikian, dalam memutuskan pilihan model atas keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum, pembentuk undang-undang perlu mempertimbangkan beberapa hal, antara lain, yaitu: (1) pemilihan model yang berimplikasi terhadap perubahan undang-undang dilakukan dengan partisipasi semua kalangan yang memiliki perhatian atas penyelenggaraan pemilihan umum; (2) kemungkinan perubahan undang-undang terhadap pilihan model-model tersebut dilakukan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk dilakukan simulasi sebelum perubahan tersebut benar-benar efektif dilaksanakan; (3) pembentuk undang-undang memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas; (4) pilihan model selalu memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak untuk memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat; dan (5) tidak acap-kali mengubah model pemilihan langsung yang diselenggarakan secara serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaan pemilihan umum;
Apabila dilakukan Pilkada 2022 (sesuai draf revisi UU Pemilu) terdapat 101 wilayah yang melakukan pilkada pada 2017 lalu yang meliputi 7 provinsi, 18 kota dan 76 kabupaten. Tujuh provinsi yang melaksanakan Pilkada 2017 seperti dikutip dari situs resmi KPU: 1. Aceh 2. Bangka Belitung 3. DKI Jakarta 4. Banten 6. Sulawesi 7. Papua Barat. Apabila revisi ini jadi dilakukan, tentunya dalam melaksanakan Pilkada 2022 banyak hal yang harus disiapkan dengan ketersediaan waktu yang tidaklah banyak mulai dari menyiapkan Peraturan turunan, anggaran, kesiapan daftar pemilih tetap, kertas suara, sarana prasarana lainya, kesiapan petugas, dan tentunya situasi pandemi wabah covid19 sangat perlu diperhatikan oleh pembentuk UU.
Penting diingat proses lahirnya suatu perundang-undangan, tidak boleh dilahirkan secara tergesa-gesa untuk kepentingan instan (sesaat), yang diistilahkan oleh Gunnar Myrdall sebagai sweep legislation (undang-undang sapu), yang memiliki kualitas buruk dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Penulis, PJ Hukum BPS Provinsi Bali