DENPASAR, BALIPOST.com – Kondisi ekonomi yang terimbas pandemi Covid-19 saat ini, tidak mengurangi daya beli properti di Bali, khususnya kelas middle-up atau komersial. Transaksi pembelian properti nonsubsidi tersebut kini lebih banyak dilakukan secara tunai atau cash.
“Peminat rumah komersil dengan kisaran di atas Rp 500 juta sebagian besar berasal dari konsumen luar Bali seperti Jakarta dan Surabaya,” kata Ketua DPD REI Bali, I Gede Suardita di Denpasar.
Pengembang properti asal Tabanan ini mengungkapkan peminat rumah komersial nonsubsidi karena sekarang bisa membeli properti di Bali dengan diskon yang lumayan besar. Diskon yang diberikan pengembang rata-rata di angka 30-40 persen. Secara umum, kata dia, harga properti sebenarnya tidak pernah turun layaknya harga kendaraan.
Hanya saja, kondisi saat ini membuat owner properti berusaha mempertahankan usaha dengan membuat program diskon. Selain karena terkendala di bank sehingga daripada diambil alih bank, pengembang memilih menjual dengan harga relatif murah. “Properti dengan harga diskon ini yang banyak dikejar dan jadi incaran konsumen luar. Umumnya properti di atas Rp 2 miliar seperti villa atau hotel dan menariknya banyak dibayar secara cash,” ungkapnya.
Properti di Bali makin banyak dilirik konsumen luar, diakui Suardita, secara aturan tidak ada larangan orang dari luar beli rumah di daerah ini. “Di luar kepemilikan asing, masih dibolehkan terpenting ada KTP NKRI. Itu berarti di mana pun mereka bisa bertransaksi, termasuk di Bali,” ucapnya.
Pihaknya pun menyampaikan ada beberapa faktor kenapa orang luar melirik pembelian properti di Bali. Pertama, Bali selain sebagai destinasi wisata juga sebagai destinasi properti. Selain itu ada rasa emosional atau spesial jika mempunyai properti di Bali. Kedua, adat budaya masyarakat Bali yang welcome disukai orang luar karena merasa nyaman.
Lebih lanjut, Direktur PT. Bumi Cempaka Asri ini memaparkan bisnis properti di Bali erat kaitannya dengan pariwisata sehingga ketika diterjang pandemi, usaha ini mengalami penurunan drastis. Terbukti saat pandemi yang berlangsung hampir setahun ini dampak terasa di awal bulan kelima tahun lalu.
Saat itu transaksi bahkan tidak ada dan konsumen membeli rumah tidak bisa terealisasikan ke perbankan. “Setelah Juli baru semua sudah beradaptasi, dalam artian mulai membuat proyek namun skala prioritas. Bank pun membuka diri menggenjot pemulihan ekonomi,” ujarnya.
Sementara kondisi saat ini, kata Suardita, pengembang sudah beradaptasi kendati seleksi alam tetap terjadi. Pengembang sudah bisa beradaptasi karena anggota REI pada umumnya dengan usia rata-rata perusahaan di atas lima tahun sehingga kualitas bisa terjamin.
Secara umum jenis properti dibagi dua yaitu middle-up atau komersial dengan harga Rp 300 juta ke atas dan middle-low Rp 300 ke bawah dengan rumah susbidinya. Target pasar middle-low masih terjaga sampai saat ini dan anggota REI Bali banyak bermain di segmen subsidi tersebut. Berbeda dengan pasar komersial di era pandemi.
Secara total, bisa dikatakan pasar turun 50 persen terutama pembiayaan dengan sistem KPR. Bank kini lebih selektif pembiayaan KPR yang berkaitan dengan sektor pariwisata.
“Harapan kita properti bisa rebound. Kita akumulasi dengan 5.000 unit rumah subsidi karena backlog perumahan di Bali itu kalau tidak salah sekitar 15.000 pada tahun 2020,” katanya.
Ia mengatakan potensial tersebut dengan melihat lahan-lahan yang dikembangkan masih tetap ada. Demand (permintaan) dengan supplay (penyediaan) seimbang. Tidak hanya itu demandnya lebih banyak di rumah subsidi karena suplaynya keterbatasan akibat harga lahan. (Suardika/bisnisbali)