Oleh Agung Kresna
Bali tidak bisa tunggu pariwisata pulih. Kesimpulan tersebut sebagaimana headline Bali Post (11/2), dihasilkan dalam Focus Group Discussion (FGD) Tanggap Covid-19 di Warung 63 Denpasar. Pernyataan tersebut sekaligus menyiratkan bahwa angan pariwisata Bali akan dapat bangkit dalam waktu dekat, jelas menemui jalan buntu. Secara berangsur, dalam tiga dasa warsa terakhir ini industri pariwisata telah menjadi lokomotif utama perekonomian Bali.
Sementara dalam dasa warsa sebelumnya, pertanian dan budaya masih menjadi tumpuan utama perekonomian krama Bali. Deru mesin ekonomi global yang menyerbu Bali secara perlahan namun pasti telah mengubah wajah perekonomian Bali.
Namun kehadiran pandemi Covid-19 telah mengusik zona nyaman perekonomian Bali. Di satu sisi pariwisata membutuhkan tingkat mobilitas manusia yang cukup tinggi dan dinamis, sementara pandemi Covid-19 mengharuskan kita membatasi mobilitas guna mengurangi penularan virus. Akibatnya pariwisata Bali mati suri karena terbatasnya kehadiran wisatawan.
Tungku perekonomian Bali menjadi redup. Kita bagai diingatkan bahwa selama ini tanpa kita sadari gemerlap industri pariwisata telah membawa perubahan sosio-kultural dalam masyarakat Bali. Masyarakat agraris Bali yang bersifat komunal penuh kemitraan, mulai bergeser menjadi masyarakat jasa yang bersifat lebih invidual dan kompetitif.
Kita tentu tidak bisa menunggu pariwisata pulih agar api tungku perekonomian Bali kembali menyala berkobar. Sebagaimana kesimpulan dalam FGD tersebut, bahwa satu-satunya cara agar ekonomi pariwisata Bali bangkit kembali adalah mengendalikan penyebaran Covid-19. Sehingga pada kelanjutannya tidak terjadi lagi pembatasan pergerakan di masyarakat.
Namun pengendalian penyebaran Covid-19 ini harus secara global, bukan hanya di Bali saja.
Ekonomi Bali memang harus bisa mandiri tanpa adanya keharusan kedatangan orang dari luar Bali. Sehingga tidak ada cara lain selain membuat tungku perekonomian di luar pariwisata, utamanya yang dapat berjalan di tengah pembatasan pergerakan manusia global. Karena tidak ada yang tahu kapan pandemi Covid-19 ini akan berakhir, hilang dari muka bumi ini.
Laju mesin ekonomi modern yang saat ini berlangsung di Bali, pada dasarnya tetap tidak dapat menggeser berbagai upakara yang dijalani dalam keseharian kehidupan krama Bali. Segala jenis upakara dalam kehidupan krama Bali selalu dalam bingkai hitungan alam, sejak triwara, panca wara, sapta wara, wuku hingga sasih.
Hal ini jelas menunjukkan keseharian kehidupan krama Bali yang sejalan dengan tatanan musim, sebagaimana siklus pertanian. Krama Bali secara ekonomi sudah makmur sejahtera jauh sebelum adanya gelimang dolar industri pariwisata.
Pada era itu pertanian Bali sudah tumbuh dan berkembang menjadi mata pencaharian utama krama Bali, menjadi penggerak roda ekonomi Bali Hal ini dibukikan dengan keberadaan ribuan pura megah di Bali yang telah berdiri tegak, dibangun oleh krama Bali dari keuntungan finansial para petani krama Bali dari produk pertaniannya.
Aneka perlengkapan banten dan canang sari sebagai sarana upakara bagi segenap krama Hindu Bali didominasi oleh hasil dari kebun dan sawah. Kondisi ini menciptakan supply chain (rantai pasok) perekonomian Bali secara mandiri tanpa adanya ketergantungan dengan pihak luar Bali saat itu. Namun saat ini ketika pertanian Bali mulai dikesampingkan, aneka sarana upakara tersebut justru lebih banyak didatangkan dari luar Bali.
Selain lahirnya upakara dalam kehidupan keseharian krama Bali, budaya pertanian krama Bali berlanjut melahirkan tradisi kebudayaan/kesenian maupun handicraft sebagai manifestasi jati diri kehidupan krama Bali. Pada gilirannya, budaya kesenian dan handicraft kemudian menjelma menjadi roda penggerak ekonomi krama Bali penopang ekonomi pertanian.
Eksotisme yang dipancarkan dari budaya pertanian Bali dengan diiringi keelokan budaya tradisi kesenian Bali beserta aneka handicraft produk krama Bali itulah yang mengundang wisatawan, hingga Bali berjuluk Pulau Dewata. Akhirnya industri pariwisata Bali tumbuh berkembang menjelma menjadi lokomotif perekonomian Bali saat ini.
Pada galibnya, pilar ekonomi Bali memiliki tiga tiang utama. Pertama, adalah sektor pertanian sebagai awal mula tiang utama ekonomi Bali. Kedua, sektor budaya –utamanya kesenian dan handicraft- yang merupakan turunan dari budaya pertanian Bali. Ketiga, adalah industri pariwisata sebagai sektor by product dari sektor pertanian dan budaya Bali.
Harus ada perubahan paradigma dari para stakeholders dalam memahami ekonomi Bali. Pertanian sebagai sektor ekonomi primer harus berwujud smart-farming. dengan sentuhan teknologi tinggi. Budaya sebagai sektor ekonomi sekunder memerlukan sentuhan information technology. Sementara pariwisata sebagai sektor ekonomi tertier harus dipahami sebagai sektor yang rentan terhadap gangguan stabilitas ekonomi dan keamanan.
Industri pariwisata Bali pada hakikatnya hanyalah resultan dari kehidupan pertanian dan budaya krama Bali yang sudah lebih dulu mengakar dalam keseharian kehidupan masyarakat Bali. Segenap stakeholders ekonomi Bali harus sepenuhnya menyadari bahwa diperlukan harmonisasi atas sumber daya ekonomi Bali dari sektor pertanian, budaya, dan pariwisata.