Oleh Kadek Suartaya
Dramatari calonarang dipandang sebagai seni pertunjukan angker di tengah masyarakat Bali. Kesenian ini, lazimnya, hanya dapat dipentaskan serangkaian dengan ritual di Pura Dalem, salah satu dari tiga pura (tri kahyangan) yang ada di setiap desa di penjuru Pulau Dewata. Sajian teater calonarang adalah wahana religius untuk mengusung benda-benda wingit seperti Rangda dan Barong di hadapan khalayak. Prosesi itu, belakangan direlasikan dengan sebuah ritual yang disebut napak pertiwi.
Sumber sastra dan teologis dari napak pertiwi ini belum jelas rujukannya. Namun interpretasi serta filosofisnya tampak dikait-kaitkan dengan lontar Siwa Tatwa seperti dalam lakon Barong Swari yang mengisahkan penyelematan para dewa terhadap kehidupan di bumi. Mitologi ini banyak dijadikan tema dan bingkai lakon seni pertunjukan tradisional Bali.
Napak artinya menginjak dan pertiwi adalah tanah atau jagat. Konsepsi napak pertiwi, di sejumlah komunitas adat-keagamaan dimaknai sebagai turunnya Hyang Widhi dengan segala manifestasi dan wujud simboliknya, menganugrahkan kehidupan dan kesejahteraan kepada semua makhluk. Praktek dari napak pertiwi ini variatif. Salah satunya adalah melalui pementasan dramatari calonarang.
Sumber utama lakon dramatari calonarang bukan mitologi, melainkan cerita semi sejarah yang muncul di Jawa Timur pada abad ke-11. Pegiat seni pentas Bali memperkenalkan tokoh utama dramatari calonarang tersebut sebagai Matah Gede.
Matah Gede tak lain dari Ni Calonarang sebelum berubah wujud menjadi siluman yang menyeramkan. Walau sesungguhnya ia seorang wanita, Walu Nateng Dirah alias Janda dari Dirah, biasanya dibawakan oleh penari pria. Secara dramatikal, masyarakat dan seniman teater calonarang menempatkan Ni Calonarang dalam posisi antogonis, tokoh penganut ilmu hitam yang jahat.
Namun ketika Ni Calonarang mengerang mengumbar kesaktian dalam adegan bewujud Rangda– disakralkan masyarakat–para penonton dramatari calonarang, secara psiko-relegi, memandangnya dengan penuh takzim sebagai pelindung dan penganugrah. Keantogonisan tokoh Ni Calonarang seketika sirna.
Marginalisasi aspek estetika dramatari calonarang, dimulai ketika adanya “kreasi” adegan watangan atau bengke-bangkean. Kalau hanya sebagai bumbu menambah keseraman, masih tampak kontekstual. Akan tetapi sering bahkan banyak terjadi, masuknya watangan ke tengah kalangan pentas tidak sesuai dengan alur adegan dan skenario cerita.
Adegan yang relevan disertai nusang (memandikan) sampai nanem (menguburkan) mayat adalah saat teror leak Ni Calonarang bersama murid-muridnya menebar petaka grubug. Tetapi, yang sering sekarang tampak adalah pengabaian alur cerita. Pokoknya asal waktu sudah menunjukkan tengah malam, watangan sudah harus tampil. Tata artistik dramatari calonarang hanya jadi pelengkap, hanya sebagai alasan untuk pamer unjuk “sakti”.
Tengoklah pementasannya di tengah masyarakat atau yang ditayangkan televisi, senantiasa disertai dengan tampilan mayat-mayatan yang diperankan sering lebih dari satu orang. Diusung ke tengah pangggung oleh beberapa orang, lengkap dengan sesaji orang mati sesungguhnya. Ada pula seseorang bertugas sebagai tukang ngundang yang melontarkan tantangan-tantangan kepada para leak.
Penampilan watangan ini sering bertele-tele menyita waktu sehingga kelanjutan pertunjukan calonarang menjadi hambar dan gamang. Nestapa dramatari ini kian menyedihkan ketika disertai ngunying yang brutal. Ngunying jadi pamer kekerasan yang diumbar bablas. Dua tahun lalu, 2018, di Desa Tegallangan, Gianyar, sebuah pementasan calonarang rusuh dan kacau, penonton bubar berlarian ketakutan.
Kini, sajian dramatari calonarang, bukan hanya dibawakan seniman lokal desa setempat melainkan tak jarang juga mendatangkan grup-grup profesional. Karena itu, sering tampak adanya baliho atau spanduk di tengah dan di luar panggung pementasan. Pongahnya, nama grupnya ditonjolkan dengan hurup besar-besar sedang lakon yang dipentaskan dicantumkan seadanya saja.
Nama-nama grup calonarang yang berani pamer kekebalan itu lebih mengundang takjub dari pada kualitas kesenian yang ditampilkan. Ada kesan seni pertunjukan calonarang hanya dijadikan tumpangan untuk meng-endorse popularitas suatu grup, baik soal kekebalan fisik dan non fisik maupun tujuan-tujuan di luar seni, hasrat praktis-pragmatis yang lainnya.
Fenomena empirik ini tentu mendistorsi konsep napak pertiwi dalam dramatari calonarang. Desakralisasi ritual napak pertiwi ini membius prilaku permisif, mungkin, ada yang melegakan dan ada pula yang mengenaskan. Napak pertiwi, baik dalam ritual khusus menarikan Rangda atau pun dalam konteks pementasan calonarang, sudah menelan nyawa.
Penulis adalah pemerhati seni budaya, dosen ISI Denpasar