Suasana FGD Tanggap COVID-19 yang berlangsung Rabu (17/2). (BP/may)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pariwisata Bali sangat memerlukan bantuan dari pemerintah pusat untuk bisa bangkit. Jika bantuan gagal didapatkan, pariwisata Bali akan kolaps dan sulit untuk bangkit. Demikian terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) Tanggap Covid-19 di Warung 63, Denpasar, Rabu (17/2).

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Badung IGN Rai Suryawijaya mengatakan, sudah setahun Bali menghadapi pandemi Covid-19 dan kondisi pariwisata Bali saat ini sangat parah. Segala usaha dilakukan untuk bisa survive.

Namun, daya tahan pengusaha pariwisata hanya tiga bulan, cadangan likuiditas habis. Tiga bulan berikutnya, tabungan pengusaha habis. Setelah lebih enam bulan menghadapi pandemi, kemampuan pengusaha untuk bertahan sudah tidak ada, yang terjadi adalah penjualan aset.

Upaya efisiensi pun dilakukan, mulai dari efisiensi operasional hingga merumahkan karyawan. “Kita sangat bergantung dari pariwisata karena 70% bergerak di sektor pariwisata, sehingga kita terdampak paling dalam dan paling akhir sembuhnya,” ujarnya.

Baca juga:  Peduli Warga Terdampak COVID-19, Ini Dilakukan Danramil-PLN

Rai Suryawijaya mengatakan, aset-aset pariwsata Bali pun tak mampu dipertahankan. Hal ini dikhawatirkan membuat pariwisata Bali mati. Untuk itu, bantuan pemerintah sangat diperlukan oleh para pelaku usaha pariwisata.

Seperti bantuan relaksasi, dana hibah dari Kemenpar, dan mengupayakan mendapat bantuan soft loan Rp 9,9 triliun. “Kalau bantuan soft loan bisa didapat, pariwisata Bali akan selamat. Kalau tidak, akan makin banyak yang kolaps dan pailit serta aset Bali ini akan berpindah tangan,” katanya.

Ketua Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) Bali Yoga Iswara mengatakan, sejak memasuki pandemi, pariwisata Bali mati suri hingga Juni 2020. Memasuki Juli hingga Desember, pariwisata Bali menggeliat karena ada pasar domestik. Namun sejak Januari sampai sekarang, pariwisata Bali kembali pada siklus mati suri.

Seiring berjalannya waktu, pola penanganan COVID-19 mulai ditemukan dan sepakat bahwa kita harus berdamai dengan COVID-19. “Ini solusi yang paling tepat menjadi dasar bergerak ke depan. Yang kita takutkan adalah ketika kita tidak memiliki strategi yang tepat atau timeline yang tepat, gagal merencanakan sama halnya kita merencanakan sebuah kegagalan,” katanya mengingatkan.

Baca juga:  Ini Risikonya, Jika Pilkada Tetap Terselenggara di Tengah Pandemi COVID-19

Yoga Iswara menambahkan, hasilnya sekarang terlihat, Bali mengalami pertumbuhan minus -9,31% secara akumulasi 2020. “Pandemi Covid-19 memang telah berdampak negatif tinggi. Tapi yang bisa dilakukan saat ini, bukan masalah pandemi tapi bagaimana meresponsnya dengan baik tanpa bermaksud mengabaikan aspek kesehatan,” tegasnya.

Meski “badai” yang sedang dialami Indonesia sama, kata dia, namun “perahu” yang digunakan masing-masing daerah berbeda. Menurutnya, saat ini Bali harus menciptakan safety guard, karena Bali sangat tergantung dari pariwisata.

Bali tidak bisa diperlakukan sama dengan daerah lain, maka perlu strategi berbeda untuk Bali. “Bali ini menggunakan perahu yang sedang bocor. Jadi, saya ingin mengetuk hati pemegang kebijakan untuk melihat dan memahami sense of urgency, sense of critical dan sense of empaty terhadap Bali. Kami ingin mengetuk hati Menlu, Menkumham, Satgas Covid-19 Nasional, dan yang memberikan kebijakan terhadap Bali agar melihat Bali berbeda dan diperlakukan beda,” ujarnya.

Baca juga:  Belum Optimal, Presiden Instruksikan Percepatan Serapan Stimulus Penanganan COVID-19

Menurut Sekretaris Dinas Pariwisata Badung A.A. Putu Yuyun Hanura Enny, Badung memang paling terdampak pandemi Covid-19 karena sumber pendapatan asli daerah (PAD) Pemkab Badung bersandar pada pajak hotel dan restaurant (PHR) yang cukup besar. Dikatakan, Pemkab Badung berupaya agar sektor pariwisata menyiapkan diri menyambut pariwisata pulih sambil tetap dalam koridor penanganan Covid-19, dan berupaya memelihara aset Badung.

“Jangan sampai nanti kita mendatangkan wisatawan, membuka pariwisata, tapi abai dengan protokol kesehatan. Tentunya nanti tidak akan baik karena yang kita kedepankan protokol kesehatan, karena wajah Bali, Badung ini sangat bergantung dari keamanan dan prokes yang dijalankan dengan baik,” tegasnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *