Dwi Yustiani. (BP/Istimewa)

Oleh Dwi Yustiani, SST.

Menjadi sebuah perenungan, bahwa pariwisata Bali di tahun 2020 tidak segemilang tahun-tahun sebelumnya. Bahkan menjadi prestasi terburuk sepanjang lima belas tahun terakhir yang diindikasikan dari jumlah datangnya wisman ke Bali yang hanya capai satu juta wisman dan tingkat hunian hotel bintang yang hanya capai 19 persen di penghujung tahun 2020.

Apa yang terjadi selama pandemi sudah banyak memakan tenaga hati dan pikiran. Beribu-ribu tenaga kerja, yang menggerakkan perekonomian Bali sangat bergantung pada sektor ini justru harus kehilangan apa yang menjadi tumpuan hidup, dan lebih-lebih, media mengangkat ramainya hotel yang dijual, mengisyaratkan bahwa sedang terjadi “sesuatu” mungkin bisa saja jatuh lebih dalam lagi.

Memang berbeda. Dampak yang ditimbulkan karena pandemi cukup luar biasa. Bom Bali kala itu cukup berdampak pada terciptanya travel warning dari berbagai negara. Tidak hanya itu, kala Bali dirundung bencana erupsi Gunung Agung di akhir 2017, kunjungan wisman ke Bali tetap berada di angka 5 juta wisman selama setahun.

Dampak yang ditimbulkan dari kejadian ini terlihat dari penurunan tingkat hunian kamar hotel di sekitar lokasi bencana. Misalnya tingkat hunian kamar hotel di Karangasem yang semula 59,11 persen di bulan Agustus 2017 turun menjadi 50,58 persen di bulan September 2017. Namun cukup berbeda dengan tingkat hunian hotel bintang di Badung yang justru meningkat dari 77,49 persen di bulan Agustus 2017 menjadi 78,76 persen di bulan Agustus 2017. Coba kita lihat di masa pandemi.

Baca juga:  Sujud dan Penghormatan pada Catur Guru

Tingkat hunian kamar hotel bintang yang pada Januari 2020 tercatat 59,29 persen, terjun bebas ke angka 3,22 persen di bulan April 2020, dan mencapai titik terdalamnya di bulan April dan Juni 2020 sebesar 2,07 persen. Fakta lain yakni pandemi ini mampu menghasilkan 98,18 ribu pengangguran, yang harus berhenti bekerja selama bulan Februari- Agustus 2020 (sumber: Data BPS).

Bagaimana dengan potential lost yang terjadi? Pastinya cukup besar. Gap paling tinggi yakni terjadi pada kedatangan wisman asal Australia dan Tiongkok yang menurun cukup tajam karena pandemi. Jika dihitung secara kasar, potensi kehilangan wisman Australia yakni minimal 1,02 juta wisman (selisih tahun 2020 dengan tahun 2019).

Publikasi Statistik Profil Wisatawan Mancanegara 2016, yang diterbitkan oleh Kementrian Pariwisata kala itu, menyatakan bahwa spending dalam sekali kunjungan yang dilakukan oleh wisman Australia sebesar US$ 1.654,24. Dengan faktor pengali dari jumlah wisman Australia yang hilang, maka potensi kehilangan pendapatan Bali berkisar minimum US$ 1.685,28 Juta atau berkisar di atas 23,59 triliun Rupiah (dengan asumsi kurs Rupiah di angka Rp 14.000).

Potential lost yang diakibatkan oleh menurunnya kedatangan wisman asal Tiongkok juga tidak kalah fantastis. Pengeluaran wisman Tiongkok dalam satu kali kunjungan menurut publikasi yang sama disebutkan sebesar US$ 1.257,59, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan spending wisman Australia. Penurunan jumlah wisman Tiongkok di tahun 2020 tercatat 1,07 Juta wisman.

Baca juga:  Jatiluwih Agriculture Festival 2017, Wisatawan Dilibatkan Pasang ‘Lelakut’

Jika dikalikan dengan rata-rata spending per kunjungannya, potensi kehilangan pendapatan dari wisatawan Tiongkok berkisar minimum US$ 1.344,34 Juta atau berkisar di atas 18,82 triliun Rupiah. Nilai yang cukup fantastis hanya dari dua negara tersebut saja. Namun ada yang unik, yakni penurunan jumlah wisman Rusia menjadi yang terdangkal, bahkan mengalami penurunan jumlah wisman paling rendah, lebih rendah dibandingkan Australia dan Tiongkok.

Merujuk pada publikasi yang sama bahwa wisman Rusia memiliki spending yang cukup tinggi yakni US$ 1.774,44 per kunjungannya. Dari satu faktor pengeluaran wisman per kunjungan ini dapat memberikan kita bayangan bahwa mendatangkan wisman asal Rusia cukup menjanjikan yang mampu meningkatkan pendapatan pariwisata Bali. Selama masa pandemi (tahun 2020) jumlah kedatangan wisman asal Rusia menduduki peringkat ke empat yakni sebanyak 67.365 kunjungan. Jika dibandingkan tahun 2019, jumlah wisman asal Rusia bahkan tidak masuk kategori 10 teratas.

Namun perlu kita sadari, pulihnya pariwisata membutuhkan waktu yang cukup lama. Bahkan alih-alih mendatangkan wisatawan mancanegara saja belum bisa karena masih terkendala travel restriction. Bapak Gubernur Bali pun memprediksi bahwa sektor pariwisata akan pulih di tahun 2022 atau 2023.

Sebuah doa yang jika dibarengi usaha maka cepat atau lambat pariwisata akan pulih kembali seperti sedia kala. Pandemi memberikan kita sebuah kontemplasi bahwa pariwisata Bali sesungguhnya adalah tidak hanya gemerlap Kuta, atau ramainya trotoar Ubud.

Baca juga:  Libur Idul Fitri, Taman Ayun Penuh Sesak

Namun, pariwisata Bali adalah jiwa dari pulau Bali yang merasuki setiap elemen yang ada di dalamnya. Kearifan lokal, sarat akan budaya dan makna menjadi cikal bakal dari keberlangsungan pariwisata Bali. Akomodasi, hotel restoran hanya menjadi sarana penunjang. Utamanya adalah ruh jiwa yang merasuki Bali, masyarakatnya, dan seluruh elemen yang ada di dalamnya.

Bali kini memang sedang diam. Namun, bukankah diam berarti emas? Pariwisata Bali yang diam, menjadi waktu yang tepat untuk membuat master plan bagaimana arah kebijakan pariwisata berikutnya. Pandemi telah memberikan begitu banyak transformasi. Tak terkecuali di sektor pariwisata.

Membuminya kembali wisatawan domestik, yang telah mengangkat tingkat hunian kamar hotel bintang di tahun 2020, menjadi angin segar, bahkan menjadi salah satu poin penting dalam pembangunan pariwisata ke depan. Pariwisata Bali saat ini sedang menuju keseimbangannya.

Namun dalam menuju keseimbangannya, tentu perlu upaya yang tidak sedikit. Mengatasi pengangguran yang tercipta, menumbuhkan daya saing individu dalam berkarya, mengembangkan kearifan lokal daerah, menjadi kunci bangkitnya pariwisata Bali. Pemerintah dalam menjalankan tugasnya sebagai fasilitator, tentu tidak akan diam dalam menanggapi permasalahan yang terjadi. Karena, sesungguhnya pemulihan ekonomi Bali adalah menjadi hal yang utama.

Penulis fungsional Statistisi pada Badan Pusat Statistik Provinsi Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *