Albertha Dwi Setyorini dan Ari Yuniarso. (BP/Istimewa)

Oleh Albertha Dwi Setyorini, Ari Yuniarso

Pandemi Covid-19 yang sudah melanda hampir setahun memberikan tekanan yang cukup berat terhadap perekonomian global maupun domestik sehingga menghasilkan bottomline pertumbuhan ekonomi yang rendah pada tahun 2020, selain risiko ketidakpastian di tahun depan. Meski begitu rasa optimisme tetap ada dalam upaya pemulihan perekonomian, khususnya di sektor pariwisata yang berkelanjutan secara global.

Terpuruknya perekonomian Bali karena lebih dari 80 persen masyarakat di Pulau Dewata itu bergantung kepada sektor pariwisata. Tingkat hunian atau okupansi hotel pada libur Natal 2020 dan Tahun Baru 2021 turun drastis dikarenakan banyaknya pembatalan dengan melakukan refund ketika terdapat informasi adanya ketentuan wajib PCR ke Bali yang berdampak pada beban harga dipenerbangan.

Penurunan okupansi juga disebabkan dari dampak atas pemberlakuan aturan yang wajib memperlihatkan hasil tes rapid antigen atau hasil tes swab PCR yang negatif. Adanya aturan ini, untuk jangka pendek memang agak memberatkan bagi para pengelola hotel, namun, untuk jangka panjang justru mendukung dalam usaha memutus rangkaian penyebaran Covid-19 sehingga industri pariwisata dapat segera tumbuh normal kembali.

Tidak Semudah Membalikkan Telapak Tangan

Hampir 1 tahun sudah pariwisata Bali mati suri akibat dampak pandemi Covid-19, berbagai upaya recovery dilakukan baik oleh pemerintah pusatmaupun pemerintah daerah, begitu juga oleh para pelaku pariwisata, namun tetap saja belum bisa memulihkan kembali pariwisata Bali.

Gambaran secara umum, keterpurukan pariwisata Bali memiliki 2 dimensi yang perlu diperhatikan yaitu dimensi kesehatan dan dimensi ekonomi. Dari dimensi kesehatan, masyarakat hendaknya saling melindungi dan selalu taat dalam penerapan protokol kesehatan (Prokes) dalam kesehariannya karena ini menjadi hal yang prioritas, tidak terkecuali pada sektor pariwisata. Apalagi, pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara maksimal telah berupaya menekan penyebaran Covid-19.

Baca juga:  "Direct Flight" Singapura-Bali akan Diperbanyak, Pelaku Pariwisata Anggap Sia-sia

Dari dimensi ekonomi, pada tahun 2020 Bali merugi sebesar Rp 9 triliun per bulannya. Internasional Arrival 2019 hingga Oktober 2020 pertumbuhannya -79,10%, dan kunjungan domestiknya -66,81%, sehingga mencapai lebih dari 100 ribu tenaga kerja kehilangan pekerjaan yang mayoritas di sektor pariwisata. Bahkan, lebih dari 100 ribu tenaga kerja bekerja tanpa menerima gaji atau hanya sekadar mendapat gaji yang telah dipotong atau hanya mendapat sembako saja setiap bulannya. Pertumbuhan ekonomi Bali mencatat kuartal I -1.14%, kuartal II -10,98%, dan kuartal III -12,28% merupakan pertumbuhan ekonomi terburuk sepanjang sejarah Bali.

Pada bulan November – Desember 2020, okupansi hotel berbintang di Bali mulai menggeliat, meski belum signifikan, peningkatan okupansi hotel di Bali tidak mewakili kondisi riil pariwisata Bali yang terpukul akibat pandemi. Wisatawan mancanegara yang ada hanya yang terdampar di Bali karena kebijakan negara asal yang masih menerapkan lockdown, kalaupun ada warga negara asing yang datang ke Bali, datang dengan hanya untuk tujuan bisnis bukan untuk berwisata, dan jumlahnyapun hanya beberapa orang saja, sementara untuk wisatawan domestik belum menunjukkan pertumbuhan jumlahnya.

Selanjutnya terkait program pemerintah mengenai vaksinasi Covid-19 bagi para pelaku pariwisata mestinya mendapat prioritas untuk membangun kepercayaan pasar baik domestik maupun internasional. Terutama bagi para investor sektor pariwisata dapat mengalokasikan dana recovery yang diarahkan dengan percepatan pengadaan vaksin mandiri/gotong-royong dengan target tenaga kerja sektor pariwisata sudah mendapatkan vaksin, dikarenakan dunia pariwisata Bali masih bergantung pada empat kunci, yaitu vaksin, pembukaan border antar negara, kepercayaan diri travellers, dan market.

Sebagai Langkah persiapan, pelaku usaha pariwisata harus disiplin menerapkan protokol clean, healthy, safety, and environment sustainability (CHSE) termasuk masyarakat Bali sudah siap menjalankan protokol 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak), serta 3T (testing, tracing, dan treatment).

Baca juga:  Spirit Nyepi dan Keuangan Berkelanjutan

Konsep Travel bubble adalah pembukaan zona batas lintas negara atau kesepakatan sejumlah negara untuk memulai kembali perjalanan lintas negara di tengah pandemi corona Covid-19 yang memungkinkan warganya bepergian asal tidak melampaui kota-kota yang sudah ditetapkan.

Travel bubble nantinya akan mengusung konsep Free Covid Corridors (FCC) atau koridor bebas Covid-19. Konsep tersebut akan mengizinkan warga negara asing datang ke Bali dengan syarat sudah divaksin di negara asalnya, kemudian begitu tiba di Bali harus melakukan rapid test antigen untuk memastikan wisman tersebut bebas dari Covid-19.

Program FCC selayaknya segera diterapkan di Bali sebagai salah satu upaya mendatangkan wisatawan mancanegara (wisman) sehingga bisa memberikan ruang gerak untuk bangkitnya sektor pariwisata Bali agar bisa bertahan di tengah badai Covid-19 ini.

Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan konsep travel bubble dalam rangka kebangkitan pariwisata di Bali, penulis berharap para pelaku pariwisata dapat memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

  1. Para wisatawan sudah tidak asing lagi mencari informasi dan komunikasi secara online, maka tour operators Indonesia di Balijuga harus mampu memberikan feedback secara professional dan personal melalui media online.
  2. Pentingnya persyaratan yang ketat diberlakukan bagi wisatawan mancanegara dan domestik di pintu masuk Bali, baik di bandara maupunpelabuhan dengan konsisten melakukan PCR test ulangdan menjadikan kartu vaksin sebagai “new passport” untuk kedatangan wisatawan di Bali, juga ketersediaan tempat isolasi/karantina yang memadai, termasuk penyediaan moda transportasi khusus.
  3. Tour operators Indonesia di Bali, seyogyanya mengetahui informasi mengenai rumah sakit rujukan yang tersedia, dokter, perawatan, jenis obat, dan lain sebagainya yang mungkin diperlukan dalam perjalanan.
  4. Pentingnya sertifikasi CHSE (Clean, Health, Safety, dan Environment) yang dikeluarkan instansi berwenang bagi destinasi wisata, hotel maupun restoran yang dikunjungi wisatawan dan konsisten di monitoring dan dievaluasi secara berkala.
  5. Destinasi objek wisata yang dikunjungi, para wisatawan wajib menunjukkan kartu vaksinasi bebas Covid-19 dan melampirkan tes swab PCR / antigen negatif yang di validasi petugas di pintu masuk kedatangan Bali.
  6. Keharusan bagi Travel agency untuk menyesuaikan paket-paket perjalanan dengan grup yang jauh lebih kecil, ke lokasi-lokasi yang lebih dekat dengan alam dengan outdoor activities yang jauh dari kerumunan orang, dan menawarkan menu makanan sehat. Pada saat ini, wisatawan cenderung memilih tempat-tempat wisata yang berada dekat dengan alam atau ruang terbuka, karena selain bisa meminimalisir penularan Covid-19, outdoor activities menjadi pilihan setelah sekian lama melakukan karantina mandiri di rumah.
  7. Pemerintah, pelaku usaha dan stakeholder terkait harus mampu berperan, beradaptasi dan berkolaborasi untuk menciptakan inovasi sebagai respons terhadap perubahan dalam rangka meningkatkan daya saing dan bersiap menghadapi kondisi New Normal, dengan penerapan protokol kesehatan pada setiap lini.
  8. Dari sisi financial, perlu penyediaan sarana dan akses cashless payment dan sosialisasi informasi ke para wisatawan untuk hanya menggunakan cara-cara cashless payment dalam segala bentuk transaksi di Bali saat pemberlakuan “Normal Baru”, salah satunya dapat melalui ‘Quick Response code Indonesia Standards” (QRIS).
Baca juga:  Dilema Penegakan Hukum Saat Pandemi

Sebagai penutup, semoga insight dari penulis dapat memberi secercah harapan, khususnya recovery bagi kebangkitan pariwisata di Bali.

Penulis, Mahasiswa Program Doktor, Konsentrasi Service Management, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Trisakti

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *