Ilustrasi. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Jika diibaratkan sedang berperang, setahun berlalu belum ada tanda-tanda manusia akan meraih kemenangan melawan pandemi Covid-19. Bahkan ada kecenderungan hampir semua komponen sudah mulai kelelahan dan kehabisan amunisi.

Kini, pertahanan sistem kesehatan masyarakat dan fasilitas kesehatan terancam ambruk. Jika tak dilakukan penanganan yang tepat dan terukur, kekalahan umat manusia membayang di depan mata.

Ancaman ambruknya sistem kesehatan ini terungkap dalam Diskusi Merah Putih pada Rabu (3/3) di Warung 63, Jalan Veteran, Denpasar.

Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Bali Dr.dr. Ida Bagus Gede Fajar Manuaba, Sp.OG. mengatakan, kondisi pandemi di Indonesia khususnya Bali belum mengarah ke kondisi yang baik karena sampai saat ini belum mencapai puncak COVID-19, baik di Bali maupun di Indonesia. Pandemi baginya adalah perang melawan virus. Maka perlu disiapkan logistik dan tenaga, karena belum ada yang bisa memprediksi kapan pandemi berakhir. “Jika berperang, lindungi markas dan SDM. Markas termasuk di dalamnya logistik,” ujarnya.

Pada awal pandemi, ia juga mengingatkan pemerintah untuk menjaga ketahanan logistik seperti APD dan bahan-bahan kesehatan lain, agar tidak terjadi permainan harga, kelangkaan pada bahan dan alat kesehatan tersebut. “Sekarang yang terpuruk kan RS, sedangkan kita tahu, RS adalah pertahanan terakhir sebelum kuburan,” ujarnya.

Baca juga:  Zona Merah Ini Tambah 3 Digit Kasus Baru dan Sembuh

Perhatian pemerintah dinilai kurang terhadap RS. Bantuan yang diterima RS dalam penanganan COVID-19 hanya berupa masker, sedangkan bantuan lain terhadap RS seperti keringanan pajak tak tersentuh, karena dinilai RS yang paling beruntung di masa COVID.  Belum lagi insentif nakes yang belum terbayar, bahkan tenaga vaksinator juga terancam tak mendapat insentif.

Ia menuturkan, dalam perang melawan COVID-19, ada 4 gelombang serangan. Serangan pertama angka kematian dan kesakitan tinggi, serangan kedua krisis keuangan RS, serangan ketiga nakes mengalami kelelahan, stress dan juga terinfeksi, serangan keempat yaitu masyarakat yang mempunyai penyakit kronis takut ke RS. Empat gelombang tersebut telah dialami dan belum ada tanda-tanda perang melawan COVID-19 akan berakhir.

Selama pandemi belum berakhir dan kondisi membaik, ia berharap semua pihak termasuk pemerintah untuk tetap menjaga agar jangan sampai sistem kesehatan roboh.

Ketua IDI Denpasar dr. I Ketut Widiyasa, MPH., mengatakan, dalam setahun perjalanan COVID-19, perkembangannya atau dinamikanya sangat cepat. Pencegahan dan pengobatan juga mengalami dinamika yang sangat tinggi.

Baca juga:  Zona Orange COVID-1 di Bali Bertambah, Ini Sebarannya

Dari dinamika tersebut, satu hal yang dipelajari adalah pasien COVID-19 tidak bisa diprediksi kesembuhan dan terapi yang pas untuk semua orang. Terbukti dari adanya pasien COVID-19 yang meninggal tanpa ada komorbid.

Padahal di awal pandemi diinformasikan bahwa keparahan penyakit ini tergantung dari komorbidnya. “Jadi informasi diterima masyarakat bahwa penyakit ini berkembang pada orang yang memiliki penyakit–penyakit komorbid. Dalam perjalanan, banyak juga pasien meninggal tanpa adanya penyakit komorbid,” ujarnya.

Informasi seperti inilah yang kerap berubah–ubah dan dinamis. Maka komunikasi massa ke masyarakat perlu dipikirkan yang pas agar masyarakat memahami bahwa penyakit COVID-19 sangat dinamis, karena faktanya di lapangan masyarakat selalu mengingat informasi awal yang didapat.

Pengamat kebijakan publik I Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa mengatakan, masyarakat di awal pandemi resah, gelisah, setelah itu masyarakat masuk ke fase pasrah dan saat ini masyarakat telah masuk ke fase menyerah. ”Pada masa awal masyarakat gelisah, lalu masuk ke fase pasrah dan kini sudah mulai menyerah. Kondisi ini sangat membahayakan dalam situasi perang melawan COVID-19. Kebingungan muncul akibat penyampaian kebijakan publik yang tidak kontinyu dan konsisten,” katanya.

Baca juga:  Naik dari Sehari Sebelumnya, Jumlah Kasus COVID-19 Harian Nasional Tetap di Atas 3.000 Orang

Dalam penyampaian kebijakan publik, perlu diperhatikan aksesibilitas, terutama akses informasi. Pada beberapa negara, akses informasi dipegang oleh pemerintah, satu arah khusus tentang pandemi.

Sedangkan di negara demokrasi ini, semua orang bisa bicara dan membuat bingung masyarakat. “Di negara yang demokrasinya sudah maju, kesadaran masyarakat untuk memulai itu (informasi) tidak banyak, karena dia sudah pasti memberikan ruang kepada pemerintah,” bebernya.

Maka dari itu, ia mengimbau agar informasi tentang COVID-19 disampaikan oleh pemerintah dan tenaga kesehatan secara satu komando dan satu arah, secara berulang–ulang. Ketersediaan informasi juga penting, karena masyarakat harus tahu apa yang dihadapi saat ini. “Seperti isu ketika masuk rumah sakit, seolah–olah masyarakat dibuat menjadi COVID-19,” bebernya.

Informasi seperti ini yang menurutnya tidak pernah terluruskan oleh pemerintah maupun tenaga kesehatan. Pada situasi inilah menurutnya negara demokrasi diuji tentang arus informasi, arus kebijakan yang terarah, terukur dan bersama–sama.

Diharapkan masyarakat juga bersinergi dengan pemerintah menangani COVID-19, karena jika mosi tak percaya pada pemerintah didengungkan, akan membuat situasi semakin chaos. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *