Oleh Agung Kresna
Perajin minta kepala daerah jadi bapak angkat. Headline Bali Post (19/2) ini secara tidak langsung menyiratkan suara dari para perajin (kain endek Bali), bahwa selama ini mereka merasa berjalan sendirian. Kurang mendapat perhatian dari para pemegang kebijakan, dalam menyikapi berbagai tantangan yang harus mereka hadapi selama era pandemi Covid-19 ini.
Kehadiran Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 4 Tahun 2021 tentang Penggunaan Kain Tenun Endek Bali/Kain Tenun Tradisional Bali, Anggara Pon Ukir (16/2), bagai oase melegakan bagi perajin kain tenun endek Bali, yang selama ini merasa terengah-engah dalam upaya mempertahankan kelangsungan usahanya di tengah persaingan dengan produk kain tekstil modern (printing); serta ditimpali pandemi Covid-19 yang semakin membatasi gerak usahanya.
Situasi ini semua berawal dari kejutan dalam peragaan busana Paris Fashion Week pada 29 September 2020 di Jardin de Tuileries, Paris. Saat itu rumah mode Christian Dior Couture menampilkan koleksi untuk Spring/Summer 2021 dengan salah satu koleksi bertema Coller (kolase) yang menggunakan kain tenun endek Bali sebagai salah satu materialnya.
Tampilnya kain tenun endek Bali dalam ajang Paris Fashion Week itu dapat terjadi setelah Kekean Wastra Gallery yang digawangi oleh Achmad Nur Hasim dapat memenuhi standar produksi yang dikehendaki Christian Dior Couture. Melalui proses panjang yang berawal dari permintaan sampel produk Kekean Wastra Gallery oleh Christian Dior, dan berlanjut dengan kiriman sampel produk dari Christian Dior beserta standar yang diinginkan.
Pada kelanjutannya Christian Dior Couture merasa perlu untuk memastikan bahwa penggunaan kain tersebut sesuai dengan aturan budaya dan adat Bali. Sehingga disusun Memorandum Saling Pengertian (MSP) antara Marie Champey dari pihak Christian Dior, dengan I Wayan Koster selaku Gubernur Bali; pada Wraspati Pon Landep (11/2). MSP inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya SE Gubernur Bali No. 4 tahun 2021.
Kain tenun endek selama ini memang telah menjadi bagian kehidupan berbusana krama Bali. Kain endek merupakan warisan turun temurun sejak masa Raja Dalem Waturenggong di Gelgel, Klungkung. Kain tenun endek sendiri bagi krama Bali bukan sekedar selembar kain semata, namun adalah sebuah karya seni yang diwariskan melalui keterampilan secara turun temurun. Kain endek juga merupakan identitas kultural sekaligus artefak ritual krama Bali.
Melalui motif yang beragam, kain endek sekaligus menampilkan perannya dalam keseharian kehidupan krama Bali. Beberapa motif kain endek bahkan ada yang dianggap sakral seperti halnya motif patra dan encak saji yang hanya digunakan untuk kegiatan di pura/ keagamaan. Juga ada motif kain endek yang hanya boleh digunakan oleh kalangan orang tua atau juga bangsawan. Sayangnya selama ini belum ada upaya optimal guna meningkatkan kualitas produk kain tenun endek, sebagaimana standar internasionalnya Christian Dior.
Identitas Nasional
Kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1974) merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia, dan karenanya hanya bisa dicetuskan dengan proses belajar. Kebudayaan pada dasarnya selalu memiliki unsur-unsur yang bersifat universal. Sebagaimana disarikan oleh Ki Hajar Dewantara dalam istilah Cipta, Rasa, dan Karsa.
Wujud kebudayaan sendiri dapat digolongkan dalam tiga kelompok. Pertama wujud ideal, berupa gagasan, nilai-nilai, norma, peraturan dsb. Kedua, wujud sistem sosial yang merupakan pola kelakuan manusia dalam masyarakat (local wisdom). Wujud pertama dan kedua ini diwariskan sebagai intangible heritage. Sementara yang ketiga adalah wujud fisik yaitu berupa benda hasil karya manusia dalam kehidupannya; diwariskan sebagai tangible heritage.
Bali memiliki kekayaan warisan budaya (cultural heritage) yang elok dan memesona. Kearifan lokal (local genius) krama Bali merupakan intangible heritage yang dapat menjadi culture capital (modal sosial-budaya) cukup besar dalam menjaga peradaban Bali. Sikap komunal penuh kemitraan yang dimiliki krama Bali dalam aura semangat manyamabraya, mencerminkan modal sosial-budaya tersebut.
Kain tenun endek Bali jelas merupakan intangible heritage sekaligus menjadi culture capital (modal sosial-budaya) bagi krama Bali. Sebagai wujud identitas kultural sekaligus artefak ritual krama Bali, kain endek telah menjadi duta budaya Bali di kancah pergaulan budaya lintas negara. Tidak tertutup peluang kain endek Bali menjadi identitas nasional Indonesia, sebagaimana orang mengenal Italia dengan produk kulitnya, atau produk kain sutera yang selalu identik dengan negara China.
Upaya menjaga eksistensi kebudayaan Bali -yang telah mewujud menjadi peradaban krama Bali- dan sekaligus melestarikan anatomi tradisi adat sosial-budaya Bali, harus dilakukan dalam tatanan dan mindset baru sesuai konteks budaya masa kini. Langkah ini dilakukan guna menghindari keterputusan peradaban krama Bali di tengah arus budaya global utamanya akibat terpaan gelombang pandemi Covid-19,
Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar.