SEMARAPURA, BALIPOST.com – Serangkaian pelaksanaan Nyepi Saka 1943, umat Hindu mulai melaksanakan melasti, Rabu (10/3). Proses melasti salah satunya berlangsung di Pantai Klotok dengan prokes ketat dengan jumlah umat yang dibatasi.
Ini sebagai rangkaian upacara sebelum pelaksanaan Tawur Agung Kesanga. Panitia Upacara Tawur Agung Kesanga di Catus Pata Klungkung, Dewa Ketut Soma, mengatakan melasti khusus untuk rangkaian Tawur Agung Kesanga sudah berjalan sesuai dengan aturan Satgas COVID-19, untuk mencegah terjadinya kerumunan.
Meski dibatasi ketat, menurutnya tidak mengurangi makna dari melasti sebagai upaya penyucian sarana upacara. Justru menurut budayawan ini, pandemi COVID-19 telah mengajarkan umat di Bali untuk kembali pada zaman lawas.
Dulu pelaksanaan melasti bagi umat di desa-desa yang wilayahnya dekat pantai akan dilaksanakan di pantai. Mereka yang desa adatnya mewilayahi danau akan melasti ke danau.
Begitu juga bagi desa-desa yang memiliki kearifan lokal seperti beji, akan melasti di beji. Bagi desa adat yang wilayahnya berdekatan dengan campuhan, melastinya ke campuhan.
Begitu juga mereka yang tidak memiliki semua itu, cukup dengan upacara ngubeng, artinya memohon air sucinya saja dari sumbernya seperti laut, kemudian membawanya ke desa dan melakukan upacara pembersihan sarana upacara di desanya masing-masing. “Pada tradisi lawas, pelaksanaan melasti seperti ini sudah pernah terjadi. Tidak semua harus melasti ke pantai. Tidak akan mengurangi makna upacaranya,” katanya.
Tahun ini adalah hari raya Nyepi kedua saat pandemi COVID-19. Semua pelaksanaan upacaranya dibatasi.
Namun rangkaian upacaranya tetap berjalan sebagaimana mestinya, walaupun dengan pembatasan dan aturan sesuai arahan SE Bersama PHDI dan MDA Provinsi Bali.
Sementara itu, Bendesa Madya MDA Klungkung Dewa Made Tirta, menegaskan rangkaian Nyepi Saka 1943 tahun ini hanya diterapkan pengaturan khusus. Bukan pembatasan pada aspek pelaksanaan upacaranya.
Dulu peserta yang akan mengikuti iring-iringan melasti ke laut biasanya hingga ribuan orang dari setiap desa. Namun, saat ini dibatasi hanya maksimal 50 orang saja.
Itupun wajib dengan protokol kesehatan ketat yang diawasi oleh Tim Satgas Gotong Royong di setiap desa. Ini sudah disepakati oleh masing-masing desa adat di Klungkung, sehingga upacara akan tetap berjalan sebagaimana mestinya.
“Sekalipun melasti dapat dilaksanakan, tetapi protokol kesehatan itu mutlak harus ditaati. Di samping itu pelibatan pengayah atau pengiring tidak lebih dari 50 orang. Ini mengacu keputusan bersama PHDI dan MDA Bali. Kami sudah menegaskan itu, dengan surat edaran dan pertemuan langsung dengan para bendesa dan perbekel,” kata Dewa Tirta.
Tetapi, ada juga yang tetap melasti ke pantai, meski wilayah desanya tak mewilayahi pantai. Namun, pihak desanya menerapkan aturan untuk melaksanakan rapid tes antigen lebih dulu kepada masyarakat yang dilibatkan.
Kemudian meminta izin kepada wilayah desa yang memiliki pantai yang akan dipakai sebagai tempat upacara melasti. (Bagiarta/balipost)