BANGLI, BALIPOST,com – Tingginya harga cabai rawit di pasar yang mencapai Rp 120 ribu per kilogram, ternyata tak begitu dinikmati oleh petani. Pasalnya, cuaca buruk menyebabkan buah cabai petani banyak yang busuk dan gagal panen.
Di musim hujan seperti sekarang petani juga harus mengeluarkan modal lebih untuk perawatan tanaman cabainya. Seperti yang diungkapkan petani cabai di Desa Bayung Gede, Kintamani I Wayan Paris.
Dia mengatakan dampak cuaca buruk menyebabkan buah cabai petani banyak rusak akibat diserang jamur dan hama. Hasil panen pun menjadi menurun.
Dia mencontohkan dari dua ribu pohon cabai, yang bisa menghasilkan normal hanya setengahnya. Di musim hujan seperti sekarang, petani juga harus mengeluarkan modal lebih untuk biaya perawatan.
Agar tanaman cabai bisa tetap menghasilkan, ia mengaku minimal harus melakukan penyemprotan setiap empat hari sekali. Belum lagi harga obat-obatan pertanian belakangan ini naik hingga 25 persen.
Karena itu, petani cabai hanya bisa menikmati untung sedikit meski harga cabai saat ini melonjak. “Karena biaya perawatannya lumayan tinggi,” ungkap Paris.
Melambungnya harga cabai di atas Rp 100 ribu per kilogram, diakui pernah terjadi sekitar tujuh tahun lalu. Dia memperkirakan harga cabai bisa kembali normal sekitar bulan keempat dan lima tahun ini.
Karena di bulan itu cuaca diperkirakan sudah membaik dan petani banyak yang kembali tanam cabai. “Dibanding tahun lalu petani yang tanam sekarang sedikit ditambah banyak gagal panen, ini yang menyebabkan harga cabai melambung,” ujarnya.
Di sisi lain, Paris mengungkapkan harga kubis/kol saat ini turun. Biasanya petani bisa menjual kubisnya Rp 3 ribu- Rp 3500 per pohon, sekarang hanya laku dijual di kisaran Rp 1500-2 ribu per pohon.
Turunnya harga kubis karena dampak pandemi covid-19. Banyak hotel dan restoran yang tutup sehingga menyebabkan hasil produksi kubis kurang terserap.
Meski demikian, Paris masih bisa bersyukur meski harga murah di kisaran Rp 1.500 -2 ribu per pohon, kubisnya masih ada yang beli. Dibanding tahun lalu, harga kubis sudah murah pembelinya pun tak ada. (Dayu Swasrina/balipost)