DENPASAR, BALIPOST.com – Prosesi melasti di Kota Denpasar dimulai sejak Kamis (11/3) kemarin. Biasanya prosesi ini diikuti ribuan umat di sejumlah titik pantai seperti di Pantai Padanggalak, Sanur dan Mertasari. Namun, kali ini prosesi melasti di tengah pandemi Covid-19 relatif lengang. Tak lagi semarak seperti sebelumnya. Tanpa ada iring iringan pratima, kober, pelawatan Ida Bhatara, tombak bahkan suara genta dan kekidungan serta tetamburan.
Benar-benar sepi. Demikian hasil pemantauan Bali Post di Pantai Padanggalak, Kesiman, Kamis (11/3) kemarin sejak pagi hingga sore hari. Prosesi melasti sudah dimulai sejak pukul.08.00 Wita. Diawali oleh krama Desa Adat Jagapati, Biaung, Desa Adat Kekeran, Angantaka, lanjut sore harinya Desa Adat Tonja, Sumerta, Pagan dan terakhir Kesiman. Semua menggunakan kendaraan dan tanpa mengusung alias mundut pralingga Ida Bhatara seperti pratima, barong, ratu ayu, dan lain-lain.
Jero Bendesa Adat Jagapati, Badung, I Wayan Suardana mengungkapkan, proses melasti kali ini dengan mengutamakan tatwa. Makanya hanya diikuti 20 orang yakni prajuru desa, mangku gede dan srati. Tanpa mundut pratima atau pecanangan Ida Bhatara karena semuanya sudah dilinggihkan di Balai Agung. Alasannya guna menghindari kerumunan. Sebab jika semua pralingga Ida Bhatara katurang ke segara, semua umat pendukung dan penyungsungnya terlibat. “Justru, kita ingin mengutamakan tatwa dan kita mesti belajar menyesuaikan diri dengan kondisi terkini,” katanya.
Pada prosesi melasti kali ini, kata dia, prinsipnya sesuai tatwa adalah nunas tirtha segara dan tetap ngaturang pakelem berupa bebek. Sementara umat diberi kesempatan sembahyang di Balai Agung.
Hal yang sama dilontarkan Jero Bendesa Adat Kekeran, Angantaka, Made Wardana. Sebelum pandemi, krama desa adat ini sudah melasti pukul 05.00 dini hari. Namun karena pandemi Covid-19 diundur sekitar pukul 09.00 Wita dengan melibatkan maksimal 20 warga dan pamangku. Karena pada prinsipnya, sesuai tatwa melasti hanya untuk nunas tirtha segara sehingga tak perlu lagi melakukan pangilen dan ritual lainnya. “Yang penting tatwanya benar, kita juga mesti menaati anjuran pemerintah,’’ tegasnya.
Dari rangkaian melasti kemarin, hanya Desa Adat Kesiman yang menggelar proses melasti secara lengkap namun tetap terbatas. Menurut Wakil Bendesa Adat Kesiman, I Gede Anom Ranuara, S.Pd., S.Sn., M.Si, Desa Adat Kesiman bertanggung jawab terhadap laut. Makanya, desa adat ini menggabungkan surat edaran PHDI dan MDA Bali dalam pemelestaian yakni tetap menjalankan tradisi pangilen-ilen kepamangkuan dan ngaturan pakelem ke segara. Makanya, proses melasti kemarin juga diiringi gamelan dan semua pamangku pamuncuk, pangerob dan manca se-desa adat. Hanya saja, tidak semua pralingga Ida Bhatara katurang melasti. Hanya pralingga Ida Bhatara Dalem yang lunga ke segara.
Sementara Pamangku dalem tetap menjadi pamuncuk kaabih Pamangkau Manca Tepuk Telu yakni Pura Malingkiuh, Pengabang dan Ukiran sesuai tradisi yang bertugas ngaturang hidangan dan pakalem ke segara. Akibat pembatasan kehadiran umat saat melasti, aparat keamanan juga mengawasi pelaksanaan protokol kesehatan di lokasi ini. Semantara itu banyak umat menggelar melasti berbasis keluarga. Mereka cukup membawa pejati dan soda rayunan di tepi pantai, diakhiri dengan persembahyangan bersama. (Sueca/balipost)