SINGARAJA, BALIPOST.com – Dampak pandemi COVID-19 belakangan ini dialami oleh semua kalangan. Salah satunya Pekerja Migran Indonesia (PMI) baik yang bekerja di darat maupun sebagai crew kapal pesiar.
Sejak pandemi melanda Maret 2020 lalu, banyak PMI yang dirumahkan karena tidak diperpanjang kontrak oleh perusahannya. Bahkan, ada yang harus menelan “pil pahit” alias Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Dibalik kondisi sulit itu ternyata memaksa siapapun yang terdampak COVID-19 melakukan sesuatu hal yang positif dan bisa menghasilkan untuk kehidupan sehari-hari. Seperti dialami mantan pekerja kapal pesiar asal Dusun Dangin Pura, Desa Panji Kecamatan Sukasada, Gusti Agung Sukertayasa.
Sejak kontrak pekerjaan dengan perusahaan tidak lagi diperpanjang karena wabah Virus Corona, Sukertayasa bergelut di sektor pertanian. Mulai April 2020 yang lalu dia memproduksi pupuk organik.
Hasil jualan pupuk organik, sekarang dia bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Sukertayasa, Rabu (17/3) menceritakan, ketika masih aktif berlayar menjadi crew kapal pesiar tidak sedikitpun muncul keinginan untuk berbisnis pupuk pertanian.
Hanya saja saat saat itu, ketika mengisi libur setelah kontak berakhir, di kampungnya diisi dengan kegiatan untuk memelihara tanaman perkebunan milik almarhum orangtuanya.
Menginjak kontrak pekerjaanya berakhir bertepatan dengan darurat kesehatan karena pandemi, Sukertayasa terpaksa tidak lagi berlayar. Kontrak dengan perusahaan ditempatnya bekerja pun diputus, sehingga ayah satu orang anak ini kehilangan pekerjaanya.
Dari kondisi ini, alumni SMA Laboratorium (LAB) Universitas Pendidikan Ganseha (Undiksha) Singaraja ini banting stir dengan menjual pupuk organik. “Sama sekali tidak ada rencana akan jual pupuk sseperti ini, paling waktu masih berlayar ketika libur memelihara tanaman di kebun milik orangtua. Rupanya pandemi ini membuat tidak bisa bekerja ke kapal lagi, sehingga kalau seterusnya diam maka akan menambah sulit kondisi, sehingga saya mulai April 2020 jualan pupuk organik,” katanya.
Mantan mahasiswa Universitas Dhyana Pura (Undhira) Bali ini menambahkan, bisnis barunya ini dirintis setelah belajar secara otodidak tentang tekhnik memproduksi pupuk organik. Dengan bimbingan saudara kandungnya yang bekerja di salah satu perusahaan pupuk ternama, Sukertayasa kemudian mengolah kotoran sapi dan kambing menjadi pupuk organik.
Selain itu, dia juga menggunakan bahan campuran seperti arang sekam, serabut kelapa, dan bahan kapur. Dengan peralatan manual, produksi pupuk organik buatannya memiliki kualitas yang tidak diragukan lagi. Bahkan, tidak saja petani di sekitar Desa Panji, namun pupuk buatannya ini digunakan oleh petani di luar Buleleng seperti Badung, Kintamani, Jembrana, sampai ke Nusa Penida.
Selain penjualan langsung, pupuk organik yang diberi nama Taman Subur itu ada dijual di toko pertanian di Seririt dan salah satu reseler di Desa Lemukih, Kecamatan Sawan. “Waktu diawal sempat ragu kalau pupuknya tidak laku. Namun saya optimis dengan menjaga kualitas dengan memberi bukti kalau pupuk bisa menyuburkan tanaman, sehingga pupuk buatan saya ini laku sampai sekarang,” jelasnya.
Selama menggeluti profesi barunya itu, Sukertayasa menyebut produksi pupuknya masih tergantung ketersedian bahan baku terutama kotoran sapi atau kambing. Ketika musim hujan, kedua bahan baku ini sangat sulit didapat.
Tak pelak, dirinya harus ke beberapa desa di Buleleng untuk mengumpulkan kotoran sapi atau kambing yang akan diolah untuk pupuk organik. Kondisi ini kemudian membuat jadwal pembuatan pupuk tidak bisa ditentukan tergantung dari ketersedian bahan bakunya. “Maunya nanti saya stok dulu bahan baku, kalau saat musim hujan produksi tetap berjalan. Sekarang produksi masih terbatas dan itu tergantung dari ketersedian bahan baku,” katanya.
Ditanya omzet hasil bisnisnya ini, Sukertayasa menyebut pendapatan dari bisnis barunya ini tidak menentu. Ini karena, dari keuntungan penjualan kemudian digunakan kembali untuk membeli bahan baku.
Sisanya lagi, disisihkan untuk menambah penghasilan kelauarganya. Untuk pupuk organik dengan berat bersih 8 kilogram dijual Rp 15.000 per sak untuk pembeli langsung.
Sedangkan, kalau dalam pemesan banyak, dia menjual dengan harga Rp 10.000 per sak. Kemudian berat bersih 25 kilogram dijual dengan harga Rp 35.000 per sak untuk penjualan langsung, dan kalau dijual kembali dia memberikan potongan harga menjadi Rp 30.000 per sak.
“Kalau dibandingkan dengan pendapatan saat waktu berlayar jelas tidak sebanding, namun dari keuntungan menjual pupuk organik ini cukup untuk beli bahan baku dan sisanya untuk biaya hidup sehari-hari, dan saya yakin dengan ketekunan dan optimisme ke depan usaha kami ini bisa berkembang,” jelas pria kelahiran Buleleng 16 September 1983 tersebut. (Mudiarta/balipost)