Oleh Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.
Bulan Bahasa Bali gemanya menyebar luas ke pelosok desa. Warga desa senang menyambut terjadinya sebuah perayaan bahasa di desa dan melibatkan anak-anak mereka. Bahkan kegiatan ini tidak hanya menjadi ajang lomba tetapi juga arena keramaian dan tontonan.
Festival atau perayaan Bulan Bahasa Bali yang berbasis desa adat digerakkan oleh penyuluh bahasa Bali yang memang bertugas di desa-desa, bersama organ-organ lembaga desa, yang bertempat di tengah desa. Benar-benar memberdayakan potensi SDM di desa, seperti guru-guru yang berasal dari desa tersebut.
Masyarakat desa tahu kini ada perayaan bahasa Bali. Sebelumnya mereka abai karena tidak ada program budaya yang membangun kondisi sehingga warga desa mungkin telanjur berpikir bahwa bahasa Bali baik-baik saja. Namun perayaan bahasa Bali yang dengan sengaja dihadirkan di halaman desa mereka, warga semakin menyadari bahwa bahasa Bali memang sangat penting. Hal ini menjadi motivasi dasar bagi warga desa untuk peduli.
Kegiatan-kegiatan keaksaraan, kebahasaan, dan kesastraan yang bersentuhan langsung dengan budaya Bali desa, mendapat apresiasi pemerintah. Apresiasi ini tidak dari atas tetapi ditumbuhkan dari bawah di tenga-tengah desa adat, habitat bahasa ini. Sungguh kebijakan hebat dalam usaha pelestrian bahasa Bali. Itulah sebabnya, perayaan ini sangat bermakna.
Memang segala inisiatif dan dana program datang dari pemerintah, namun materi dan peserta kegiatan bulan bahasa Bali adalah berbasis desa adat. Kegiatan ini mampu melibatkan lebih banyak sasaran karena tidak ada perwakilan. Setiap desa merayakan dan melibatkan warganya. Hal ini menjadi bukti bahwa pemerintah tidak harus tampil di depan.
Pemerintah memupuk dari bawah. Segala sumber daya yang dibutuhkan desa disiapkan oleh pemerintah. Karena itu, terasa perayaan Bulan Bahasa Bali benar-benar gagasan desa dan dilaksanakan oleh sumber daya desa.
Model ini mampu melibatkan peserta sangat banyak karena tempat dan sumber daya tersedia sangat banyak dan luas. Pemerintah tidak perlu repot membentuk panitia karena panitia sudah dibentuk di setiap desa. Dengan pola ini, masyarakat benar-benar dilibatkan dan kegiatan ini telah menjadi milik mereka.
Perayaan Bulan Bahasa Bali di desa-desa tentu tidak lepas dari kebijakan atau politik kebahasaan Pemerintah Provinsi Bali yang dipimpin oleh Gubernur Bapak Koster. Politik kebahasaannya tidak hanya frontal ke pusat dan ke luar negeri tetapi juga menukik ke dalam habitat bahasa itu sendiri, yakni warga desa-desa di seluruh Bali.
Di sini para penyuluh bahasa disiapkan dan dipekerjakan sebagai “laskar” yang berada di barisan terdepan. Politik kebahasaan Gubernur Koster tidak mengapung di atas permukaan kertas dan forum ceramah tetapi dijalankan secara taktis strategis yang tidak elitis lagi.
Politik bahasa Bali yang menukik di tanah airnya sendiri, Bali Dwipa, adalah tindakan nyata yang paling realistik untuk melestarikan bahasa Bali. Sebagai politik kebahasaan, maka kegiatan-kegiatan nyata dalam payung pembinaan atau penyuluhan bahasa, telah dirancang menjadi kegiatan pembangunan nonfisik yang berkelanjutan.
Banyak telah dilakukan usaha-usaha pelestarian atau penyelamatan bahasa Bali dari kepunahan karena terdesak bahasa Indonesia dan bahasa asing, modernisasi, namun tidak didasari oleh politik kebahasaan yang jelas. Akhirnya, kegiatan pembinaan dan pengembangan bahasa Bali di masa lalu, pada sederetan nama gubernur, hanyalah kegiatan-kegiatan musiman yang elit, meriah, dan formal serimonial.
Pelestarian bahasa Bali memang harus didukung oleh politik kebahasaan yang kuat, diwujudkan tindakan nyata, berkelanjutan, dan menukik ke tanah dan air bahasa Bali yakni pemiliknya, orang Bali; jadi tidak butuh kongres bahasa, penulisan bahasa di ruang publik dengan aksara Bali, hari-hari berbahasa Bali di sekolah dan kantor-kantor pemerintah.
Politik bahasa Bali harus merakyat, menyusup ke hidup desa di seluruh Bali. Ada semacam legalitas yang mengontrol penggunaan bahasa Bali di desa-desa dalam berbagai ranah hidup. Politik bahasa Bali bagaikan mesin yang bekerja dan dihadirkan di desa-desa. Penggunaan bahasa “diawasi” dan dicatat dan di sinilah peran para tenaga penyuluh bahasa Bali.
Catatan-catatan tersebut adalah dasar pembinaan dan pengembangan bahasa Bali ke depan sehingga arah perencanaan pengembangan bahasa Bali tidak lagi datang dari laporan riset para peneliti tetapi data-data terkini yang dikumpulkan dengan tekun dalam waktu yang tidak terbatas dari dalam hidup bahasa itu sendiri, oleh para tenaga penyuluh bahasa Bali. Bahkan, dengan pola ini, pembinaan dan pengembangan bahasa Bali yang terjadi secara lokal, tidak perlu menunggu waktu, sebagaimana yang terjadi selama ini.
Dengan politik bahasa yang menukik langsung ke tanah air Bali dan lokal, pembinaan dan pengembangan bahasa dilakukan secara sinambung. Setiap permasalahan diatasi langsung, hari itu juga, tidak perlu menyelenggarakan seminar atau kongres, sehingga warga desa setempat, pengguna bahasa Bali, tahu perihal bahasanya sendiri. Inilah peran nyata tenaga penyuluh bahasa Bali yang menjadi pelaksana teknis dan strategis politik bahasa Gubernur Koster.
Penulis Dosen Undiksha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali
Berkat adanya politik Bahasa Bali, guru Bahasa Bali bisa diangkat menjadi tenaga kontrak penyuluh Bahasa Bali. Bahasa Bali semakin lestari, gurunya pun semakin sejahtera