DENPASAR, BALIPOST.com – Asintel Kejati Bali, Zuhandi dalam keterangan persnya, Rabu (17/3) mempersilahkan publik dan media memantau terus perkembangan kasus dugaan penyimpangan anggaran dalam sewa rumah jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) Buleleng. Walau belum menetapkan tersangka dalam kasus ini, Tim Pidsus Kejati Bali pimpinan Agus Eko Purnomo mengaku terus mengumpulkan alat bukti, termasuk dokumen terkait guna menemukan tersangka dalam kasus yang merugikan keuangan negara sekitar Rp 836.952.318.
Lantas, apakah PPK, Sekda dan mantan Sekda Buleleng bakal diperiksa? Dikonfirmasi perihal tersebut, Kasipenkum dan Humas Kejati Bali, A. Luga Harlianto, Kamis (18/3) menyatakan bahwa dipastikan mereka bakal diperiksa. “Pasti itu (diperiksa). Menurut tim pidsus, dalam bulan ini mereka akan dimintai keterangan,” ucap Luga.
Saat dipertegas Sekda apa mantan Sekda, pihak kejaksaan mengatakan mantan Sekda terlebih dahulu akan dimintai keterangan. Selain itu juga PPK (Pejabat Pelaksana Kegiatan).
Pasalnya, kata Asintel Zuhandi, dalam kegiatan sewa rumah jabatan sekda ini sejak tahun 2014 sampai dengan tahun 2020 terdapat perjanjian sewa antara PPK pada Sekda Kabupaten Buleleng dengan pemilik rumah perihal sewa rumah jabatan Sekda Kabupaten Buleleng.
Sebelumnya diberitakan, selain kasus PEN dan LPD, jaksa juga bidik soal dugaan korupsi sewa rumah jabatan Sekda Buleleng. “Ini diduga ada penyimpangan anggaran keuangan Pemkab Buleleng. Sehingga kerugian ditaksir mencapai Rp 800 juta,” ucap Asintel Kejati Bali, Zuhandi didampingi Aspidsus Agus Eko Purnomo dan Kasipenkum A.Luga Harlianto, dalam keterangan persnya, Rabu (17/3) di Kantor Kejati Bali.
Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan Jaksa Penyelidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Bali, dalam kegiatan sewa rumah jabatan Sekda Buleleng dinilai terdapat unsur penyimpangan yang mengarah kepada tindak pidana korupsi. Yakni, kata jaksa, melanggar Permendagri No. 37 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2011 dan perubahan Nomenklatur Lampiran Permendagri No. 22 Tahun 2011 (TA 2012), No. 37 Tahun 2012 (TA 2013), No. 20 Tahun 2013 (TA 2014), hingga Permendagri No. 33 tahun 2019 (TA 2020).
Dikatakan pihak Kejati Bali, pelanggaran terhadap permendagri tersebut mengarah kepada unsur Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasa Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (Miasa/balipost)