Oleh Dr. Gede Sedana, M.Sc., MMA
Harga cabai masih seperti untaian lagu, “Masih seperti yang dulu”. Kenaikan harga cabai rawit di berbagai daerah di Indonesia termasuk di Bali kembali terjadi sejak beberapa bulan terakhir, mencapai Rp 120.000/kg. Situasi ini terus terjadi setiap tahun dan kejadiannya berulang-ulang, sehingga diperlukan adanya berbagai upaya pengendalian, baik di tingkat petani, kelompok petani, pemerintah dan non-perintah.
Apabila dilihat dari aspek hukum ekonomi, kenaikan harga cabai ini terjadi karena persediaan atau suplai jumlahnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan permintaan atau demand. Terjadi perubahan price equilibrium akibat pergeseran atau perubahan suplai. Secara sederhana, pengendaliannya dilakukan dengan cara meningkatkan produksi di tingkat petani dan atau menurunkan permintaan buah cabai segar sehingga harganya kembali ke titik equilibrium.
Namun sebelum dilakukan upaya peningkatan produksi, terlebih dahulu agar dilakukan pemetaan produksi cabai untuk kawasan di Bali dan juga di luar Bali. Pemetaan produksi yang dimaksudkan adalah adanya informasi tentang sentra-sentra produksi cabai di berbagai daerah, jenis cabai yang diusahakan, luas penanaman, jumlah tanaman cabai yang ditanam, jadwal mulai tanam, jadwal panen. Demikian pula tingkat konsumsi yang berubah-ubah karena adanya beberapa hari-hari raya besar yang memiliki potensi permintaan tinggi terhadap cabai.
Selain itu, produksi cabai yang didatangkan dari luar Bali juga perlu diperhitungkan di dalam prediksi ketersediaan cabai di Bali. Artinya pemetaan ini akan dapat memberikan informasi dan penyiapan langkah-langkah untuk mengendalikan dan mengatur produksi sesuai dengan tingkat konsumsi di masyarakat. Berdasarkan pada tingkat permintaan atau konsumsi ini, maka dapat diatur penanaman cabai di kawasan sentra-sentra produksi sehingga dapat dihasilkan produk cabai sepanjang tahun.
Peningkatan produksi di tingkat petani diawali dengan penyediaan benih unggul yang memiliki produktivitas tinggi dan tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Penanaman cabai secara praktis dapat dilakukan oleh rumah tangga baik di perdesaan maupun di perkotaan, yaitu di pekarangannya. Dalam skala bisnis, penanaman cabai dapat dilakukan dengan teknologi yang memerlukan tambahan modal usahatani, seperti penggunaan input dan fasilitas budi daya, khususnya penanaman yang dilakukan pada musim penghujan.
Sementara itu pada sisi permintaan, pengendalian harga cabai dapat dilakukan melalui edukasi secara bertahap dalam pemanfaatan cabai tidak segar atau olahan untuk aneka menunya. Penggunaan cabai tidak segar akan dapat membantu stabilitas harga karena cabai yang segar dalam jumlah besar dapat diolah menjadi serbuk. Serbuk ini dapat disimpan dan lebih tahan lama untuk dapat digunakan pada beberapa bulan berikutnya.
Dengan demikian, harga cabai dapat terkendali dan konsumen tidak mejerit. Pemerintah perlu memberikan jaminan kepada para petani produsen dan juga konsumen melalui pengendalian harga cabai dengan cara pemetaan produksi dan konsumsi cabai. Pendekatan agrobisnis dalam usaha tani cabai agar bersifat inklusif di antara para aktor pasar pada rantai pasok cabai.
Penulis, Rektor Dwijendra University