Warga Lembongan saat mengumpulkan hasil panen rumput laut. (BP/Gik)

SEMARAPURA, BALIPOST.com – Pandemi COVID-19 telah melumpuhkan pariwisata Nusa Penida dalam setahun terakhir. Situasi demikian membuat pelaku pariwisata setempat beralih menjadi petani rumput laut. Namun, setelah bisa menggeliat, muncul masalah kelangkaan bibit. Ditambah lagi dampak anomali cuaca, membuat rumput laut diserang busuk air. Mengatasi persoalan ini, para petani rumput laut berencana menggelar upacara Segara Kerthi.

Tokoh masyarakat setempat, sekaligus salah satu pelaku pariwisata yang kini menjadi petani rumput laut, Wayan Karyana, mengatakan upacara Segara Kerthi ini akan dilakukan pada Sabtu (20/3) ini. Upacara ini digelar Kelompok Suka Duka Petani Rumput Laut Desa Adat Lembongan. “Ini inisiatif para petani rumput laut di Lembongan. Kami urunan, kemudian meminta petunjuk sulinggih untuk menggelar upacara Segara Kerthi. Semoga dengan upacara ini bisa mencegah dampak dari cuaca buruk lebih jauh,” kata Karyana, Jumat (19/3).

Baca juga:  Kerajinan Desa Tampaksiring Tetap Normal di Pasar Internasional

Upaya niskala menjadi salah satu opsi yang bisa ditempuh petani rumput laut setempat. Sejak pariwisata lumpuh, mayoritas warga Desa Lembongan kini menggeluti usaha rumput laut, yang sudah menjadi usaha masyarakat setempat secara turun temurun. Seperti yang dilakoni Wayan Karyana, pelaku pariwisata yang juga Ketua PHRI Klungkung ini memulai bertani rumput laut setelah hari raya Nyepi di perairan Desa Lembongan. Rumput laut masih memiliki potensi dan peluang untuk dikembangkan. Dia berharap dalam sebulan ke depan sudah bisa panen.

Ia terjun dengan pemanfaatkan areal 1,5 petak (1 petak sekitar 6 m × 6 m) areal perairan untuk bertani rumput laut. Bahkan, saking mulai ramainya pelaku pariwisata ikut bertani rumput laut, sekarang keberadaan bibit rumput laut menjadi langka. Dia berharap kesulitan ini, bisa dibantu oleh pemerintah daerah, agar rumput laut terus bergeliat di tengah momentum yang tepat untuk bangkit, disaat pariwisata sedang lesu.

Baca juga:  Industri Kerajinan Mampu Beradaptasi dan Bertahan di Tengah Pandemi Covid-19

“Orang sudah banyak ingin nanam lagi, tetapi harus menunggu perkembangan hasil dari bibit yang ditanam sebelumnya. Salah satunya yang masih bisa hidup sekarang adalah bibit rumput laut jenis cottoni sakul yang warna hijau. Sementara yang warna merah sekarang sudah semakin langka,” katanya.

Sebagian besar pelaku pariwisata setempat sudah beralih menjadi petani rumput laut. Tetapi keterbatasan bibit ini membuat langkah mereka untuk terjun dan mengembangkannya juga ikut terhenti. Padahal sejauh ini harga produksi rumput laut tetap stabil, sekitar Rp 14 per kg. Hasil produksi ini ada yang diambil pengepul, ada juga yang diambil langsung pembeli dan dikirim langsung ke Surabaya.

Baca juga:  Pujawali di Pura Penataran Ped "Masineb", Tiga Zona Pengamanan Diantisipasi

Meski antusias warga terjun cukup tinggi, mereka juga masih dihadapkan pada kendala cuaca. Situasi cuaca ekstrim yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir cukup mengganggu pertumbuhan rumput laut. Sebagaimana penjelasan pejabat terkait, Karyana mengaku curah hujan yang tinggi, mengakibatkan air laut menjadi hangat, sehingga memicu munculnya busuk air pada rumput laut. (Bagiarta/Balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *