Oleh Wayan Lasmawan
Menginjak 75 tahun Indonesia merdeka, wajah pendidikan belum sepenuhnya cerah. Sejumlah persoalan masih menjerat, mulai dari belum meratanya akses dan fasilitas, belum meratanya ketersediaan sumber daya manusia di semua daerah dan di semua sekolah, serta alokasi pendanaan bidang pendidikan yang belum memadai.
Selain itu juga sistem tata kelola pendidikan yang masih belum padu. Apalagi dengan adanya kewenangan pada pemerintah kabupaten kota sebagai regulator praktek pendidikan dasar, kemudian provinsi sebagai regulator praktek pendidikan sekolah menengah dan pusat sebagai sentral regulasinya. Ini sering memicu terjadi overlapping praktek dan kewenangan di lapangan. Hal ini pada akhirnya menambah suramnya wajah pendidikan kita saat ini.
Keterbelengguan oleh empat persoalan dasar tersebut, diperberat dengan hadirnya pandemi Covid-19. Sejak tahun 2020, muncul problema baru pada lembaga pendidikan di Indonesia, salah satunya timbulnya kasus putus sekolah sebagai dampak meningkatnya angka kemiskinan. Pandemi Covid-19 telah memicu lahirnya sistem dan praktik pendidikan kedaruratan. Pandemi yang sudah berlangsung setahun ini, menyebabkan terjadinya pergeseran yang sangat substantif dari sisi pelaksanaan proses belajar mengajar (PBM), di mana peran dan eksistensi guru tergantikan (terpaksa) oleh orang tua.
Hal ini sebagai akibat diberlakukannya pembelajaran jarak jauh (PJJ). Dampak berikutnya dari pandemi Covid-19 pada segmen pendidikan adalah terjadinya abrasi makna pendidikan. Pendidikan itu terkesan sebatas jalan saja untuk memenuhi timeline kalender akademik. Tetapi apa yang dicapai dan apa capaiannya, tentu ini menjadi persoalan tersendiri yang memerlukan pemikiran dan tindakan nyata.
Apa yang bisa dan dapat lakukan pada kondisi wajah murung pendidikan Indonesia sekarang?. Mau tidak mau harus kita harus tetap merancang masa depan, berjiwa besar, dan berpikir bijak. Pertama, optimalisasi keadaan yang ada, karena tidak ada satu orang pun yang memprediksi dan berharap situasi sekarang terjadi. Kedua, memfungsionalkan secara lebih manajemen sekolah walaupun ini juga belum menjawab persoalan terutama yang bertalian dengan ketersediaan layanan bagi siswa dalam ber-PBM. Ketiga, sebagai orang timur, kita sebenarnya selalu mengambil berkah di tengah persoalan. Di sinilah saatnya “keterujian masyarakat” lebih mengenal dan memahami praktek pendidikan.
Artinya jika selama ini para orangtua lebih cenderung meletakkan tanggung jawab itu pada sekolah dan pemerintah, maka sekarang dengan kondisi pandemi Covid-19, jadi tahu bagaimana sulitnya menjadi pendidik (guru) dan melakukan pendidikan. Keempat, upaya inovatif yang harus dilakukan, yaitu merancang dan membiasakan penerapan era kenormalan baru dalam praktek pendidikan. Berbagai persiapan sudah dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini. Namun yang masih tersisa adalah pertanyaan apakah persiapan ini sudah mampu menjawab atau membuat cerah wajah pendidikan kita?
Pemerintah sejatinya sudah mengambil berbagai kebijakan inovatif menyikapi persoalan tersebut. Setidaknya kebijakan itu menyangkut delapan tindakan cepat untuk mengatasi mimpi buru dalam praktek pendidikan kita. Yaitu penerapan PJJ, memberikan bantuan kuota internet bagi siswa, guru, mahasiswa, dosen, ada bantuan UKT bagi mahasiswa, penerapan kurikulum darurat, ada asesmen pembelajaran untuk menggantikan pembelajaran yang berbasis tes, kemudian proses belajar mengajar diupayakan dan diinisiasi dengan model tatanan kehidupan baru.
Yang terpenting sekarang, mendikbud sudah memberikan ruang diversifikasi penggunaan dana BOS. Ini masih menyisakan persoalan, karena tidak semua sekolah atau belum semua sekolah memahami bagaimana melakukan diversifikasi penggunaaan dana BOS di era pandemi sekarang. Serta dilakukannya pelandaian administrasi dan birokrasi praktek pendidikan.
Penulis Guru Besar Undisha, pakar pendidikan