DENPASAR, BALIPOST.com – Menteri Perdagangan (Mendag) RI berencana melakukan impor beras sebesar 1 juta ton menuai sejumlah tanggapan dari anggota legislatif. Tidak hanya dari pusat, namun juga dari Bali.
Mantan Anggota Komisi II Bidang Ekonomi yang saat ini menjadi Ketua Komisi III DPRD Bali, Anak Agung Ngurah Adhi Ardhana, mengatakan alasan rencana Mendag RI melakukan impor 1 juta ton beras hanya atas perhitungan stok beras negara yang di-mandatory ke Bulog. Padahal sesuai perhitungan, surplus beras sejatinya akan terjadi pada tahun 2021 ini.
Mengingat, rendahnya daya beli masyarakat di tengah pandemi COVID-19. Dari situasi tersebut seharusnya harga beras yang diperkenankan untuk diserap Bulog yang semestinya menjadi pertimbangan. Sehingga cadangan pangan negera dapat terjaga.
Namun, pada Januari-Februari, Bulog hanya bisa menyerap 85 ribu ton. Padahal Bulog membutuhkan di kisaran 60-80 juta ton per bulan untuk operasi pasar, sehingga harga beras dapat terkendali.
Seperti halnya yang terjadi di Bali. Politikus PDIP ini, mengatakan bahwa saat ini Bali memang surplus gabah, namun industri pengolahan gabah menjadi beras masih sangat kurang.
Sehingga gabah banyak “lari” ke luar Bali, dan selanjutnya masuk ke Bali berupa beras. Begitu juga dengan Bulog tidak bisa menyerap banyak beras/gabah petani, karena harga beli Bulog jauh di bawah harga pasar regional Bali.
Petani atau usaha beras tidak mau menjual gabah ke Bulog dengan harga yang tidak pantas atau rendah sesuai harga yang ditetapkan pemerintah. Alasan pemerintah menahan harga rendah beras rakyat, karena memang untuk menjaga harga jual beras untuk dikonsumsi masyarakat sekaligus untuk menjaga laju inflasi.
Dalam hal tersebut, kembali yang mesti dipertimbangkan adalah subsidi melalui harga beli Bulog dan operasi pasar beras dengan harga patokan yang diinginkan untuk menjaga inflasi sekaligus mendrive pasar. “Produsen beras pasti marah, tapi di sini pemerintah bisa bermain di pajak usaha ataupun subsidi lainnya terhadap usahanya,” ujar Adhi Ardhana, Senin (22/3).
Mestinya, regulasi bagi lembaga yang dimandatory oleh negara sebagai penyangga atau stok cadangan hasil bumi harus dapat menyerap hasil dari petani. Bukan memaksa harga rendah dan kalau cadangan turun lalu buka keran impor. Apalagi, kalau stok di petani/produsen tinggi. “Jaga keseimbangan sehingga inflasi, karena harga tinggi beras tidak terjadi. Harga sulit untuk meninggi di luar kewajaran, karena saat ini daya beli juga sedang rendah,” pungkasnya. (Winatha/balipost)