DENPASAR, BALIPOST.com – Loloh atau jamu tradisional di Bali, sudah menjadi obat herbal yang banyak dikonsumsi secara turun-temurun. Karena di sejumlah kawasan di Bali, pohon herbal banyak ditemukan di desa-desa.
Terkait dengan resep herbal zaman dahulu, banyak tercatat dalam lontar maupun prasasti. Bahkan tak sedikit pula resep herbal ini hanya diingat turun-temurun secara lisan.
Di masa modern seperti sekarang ini, ramuan tradisional seperti ini mulai dilupakan dan terkesan tidak ada yang mengembangkan lagi. Menurut penuturan Sugi Lanus selaku pembaca manuskrip lontar Bali Jawa Kuna, banyak naskah pengobatan herbal, salah satunya yang sangat tua adalah Taru Pramana, Panugrahan Mpu Bharadah.
Di Bali Utara, kata dia, seperti di Sembiran dan Julah, ada rempah-rempah dan bahan jamu yang menjadi semacam harta yang dipersembahkan kepada bangsawan yang berkunjung ke desa-desa. Sehingga untuk memproteksi hal itu, raja memberikan perintah agar jangan memberikan bahan rempah-rempah kepada pejabat atau raja yang berkunjung kalau bukan kunjungan formal.
“Artinya di sana ada apresiasi besar pada budaya rempah, jamu dan juga herbal yang berkembang di nusantara,” kata Sugi Lanus saat menjadi pembicara Webinar Jamu Tradisional sebagai Pengetahuan Untuk Kesehatan Publik di Masa Pandemi, Selasa (23/3), disaksikan lewat kanal Youtube Pengmas UI.
Lebih lanjut, kata Sugi, tradisi loloh atau jamu harus menjadi perhatian masyarakat dan tidak bisa berdiri sendiri. Sebab, keberadaannya bisa menjadi alternatif obat yang terjangkau bagi masyarakat.
Untuk di Bali, resep loloh ini ada yang tertulis dan melalui ingatan secara turun temurun. “Ketika berbicara jamu, tentu ada responsibility di belakang itu untuk memproteksi kekayaan hayati dan kekayaan hutan yang dilindungi oleh masyarakat dan pemerintah,” pungkasnya.
Terkait pengetahuan tradisional dalam masyarakat Bali saat ini, pihaknya menyebut cukup mengkhawatirkan. Meski banyak ada script terkait resep herbal ini, namun terkesan tidak ada yang mengembangkan untuk saintifikasi.
Untuk itu, pihaknya berharap, ada upaya menyelamatkan resep herbal yang hanya tercatat dalam ingatan, sebelum itu menguap. Tak hanya itu, pihaknya berharap tradisi lontar ini juga bisa disaintifikasi.
“Kami berharap semua kampus yang punya corporate social responsibility (CSR) agar ambil adil untuk ini. Sesuatu ingatan yang sempat tertidur, agar bisa dibangunkan kembali. Anggapan kalau yang dulu tidak membawa manfaat kesembuhan, agar dibawa manfaatnya ke ranah publik. Saintifikasi yang sudah dikerjakan perlu dikembangkan untuk akses masyarakat sebagai pengobatan terjangkau,” harapnya. (Yudi Karnaedi/balipost)