Oleh Ari Yuniarso dan Albertha Dwi Setyorini
Pandemi Covid-19 menjadi sebuah tantangan besar bagi pergerakan ekonomi Indonesia dan dunia. Tidak sedikit orang yang harus menerima kebijakan pemotongan gaji, ada juga yang dirumahkan untuk sementara waktu, dan bahkan harus kehilangan pekerjaan.
Kebijakan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) terpaksa membuat orang harus berdiam diri di rumah. Kantor-kantor terpaksa harus beradaptasi secara cepat dengan sistem WFH (work from home) dan sekolah pun juga harus menerapkan sistem learning from home.
Situasi ini menjadi tamparan keras terhadap sektor pariwisata, bahkan tidak hanya di pariwisata tetapi menyasar beberapa sektor lain yang masih berhubungan dengan sektor pariwisata juga ikut terkena dampak, misalnya sektor kuliner, penerbangan, perhotelan, dan juga UMKM. Kawasan-kawasan wisata yang biasanya ramai oleh pengunjung kini harus kehilangan pasarnya. Hotel, pesawat, restoran, hingga pedagang oleh-oleh terpaksa harus menghentikan kegiatan ekonomi mereka untuk sementara waktu.
Kini setelah dilaksanakan program vaksinasi nasional secara bertahap dan kebijakan pelonggaran sektor ekonomi di masing-masing daerah. Situasi ini telah membuat orang-orang secara perlahan kembali beraktivitas.
Kegiatan ekonomi secara perlahan mulai bangkit. Denyut-denyut pariwisata yang tadinya sempat terhenti kini melihat harapan untuk bisa hidup kembali.
Transformasi Perilaku Wisatawan Gaya Baru
Wabah COVID-19 secara tak langsung telah mengubah sentimen dan perilaku konsumen di Indonesia, terutama pada masa new normal setelah COVID-19 ini berakhir. Merebaknya pandemi COVID-19 memicu adanya perubahan perilaku konsumen yang secara nyata telah hadir sebagai sebuah seleksi alamiah dan mampu mengubah pola kehidupan manusia yang mungkin tidak terbayang sebelumnya.
Ada empat perilaku konsumen yang baru, yang pertama adalah Stay at home Lifestyle, yakni gaya hidup baru tinggal di rumah dengan aktivitas working-living-playing karena adanya imbauan untuk tetap berada di rumah saja, gaya hidup ini menciptakan stay at home business.
Yang kedua adalah Back to the Bottom of the Pyramid, mengacu pada piramida Maslow, konsumen kini bergeser kebutuhannya dari puncak piramida yaitu aktualisasi diri menuju ke dasar piramida, yakni kebutuhan fisiologi yang berhubungan dengan fisik, di antaranya adalah makan, kesehatan, serta keamanan jiwa raga. Ketika ancaman terhadap kesehatan dan nyawa terus mengintai di tengah pandemi, maka prioritas konsumen akan bergeser ke keselamatan jiwa.
Perilaku yang ketiga adalah Go Virtual. Pandemi COVID-19 Dengan adanya COVID-19 dan imbauan untuk tetap berada di rumah, konsumen beralih menggunakan media virtual/digital untuk memenuhi aneka kebutuhannya.
Yang terakhir adalah Empathic Society. Banyaknya korban akibat COVID-19 melahirkan masyarakat baru yang penuh empati dan solidaritas sosial.
Pergeseran perilaku masyarakat juga terjadi pada saat berekreasi. Dengan ancaman COVID-19 yang masih terus mengintai, maka para wisatawan tidak bisa bebas bepergian ke destinasi-destinasi wisata seperti sebelumnya. Mereka akan tetap berlibur tapi dengan menerapkan prinsip kehati- hatian agar tidak terpapar virus COVID-19.
Tren Staycation Meningkatkan Pariwisata di Masa Pandemi
Staycation atau berlibur di dalam lingkungan hotel akan menjadi pilihan terbaik. Untuk keluarga, berlibur dengan kendaraan pribadi akan semakin populer, dan wisata kesehatan makin banyak peminatnya.
Dengan adanya tren staycation atau liburan dekat rumah, serta berlibur di dalam kota akan menjadi pilihan terbaik dan menjadi salah satu faktor peningkatan okupansi hotel-hotel di dalam negeri. Untuk keluarga, berlibur dengan kendaraan pribadi akan semakin populer, dan wisata kesehatan makin banyak peminat.
Sehingga pemulihan pariwisata bertumbuh seiring dengan mulai dibukanya sejumlah destinasi wisata lokal yang menerapkan protokol kesehatan dan optimisme masyarakat untuk kembali liburan.
Kemungkinan besar wisata bentuk baru, yaitu virtual tourism, akan muncul dengan memanfaatkan teknologi dan perangkat digital meskipun memang belum bisa menandingi keunggulan berwisata secara langsung.
Alternatif liburan yang tidak melibatkan aktivitas banyak orang dan memberikan pengalaman wisata menggunakan alat virtual reality. Virtual tourism sejatinya membuat wisatawan merasa seperti berada di destinasi yang mereka inginkan.
Ini sama saja dengan menawarkan pengalaman “coba sebelum membeli” yang dapat mendorong rasa ingin bepergian seseorang dan membuat mereka melakukan pemesanan terlebih dahulu. Dengan gaya berwisata yang akan berubah, para pelaku pariwisata juga harus mengubah pendekatan dan strategi berdasarkan perubahan perilaku yang baru. Preferensi liburan akan bergeser ke alternatif liburan yang tidak banyak orang lakukan, seperti staycation, solo travel tour, wellness tour, juga virtual tourism.
Tantangan Bisnis Travel Agent Menghadapi Refund Tunai Wisatawan
Terhentinya industri pariwisata dan penerbangan akibat pandemi COVID-19 membuat konsumen berbondong-bondong meminta pengembalian dana atas tiket yang dibatalkan karena situasi tak memungkinkan untuk bepergian. Tingginya jumlah pembatalan perjalanan wisata akibat pandemi terutama berkaitan dengan perubahan tren prilaku konsumen dalam berwisata menjadi tantangan terberat bagi para pelaku pariwisata.
Maskapai dan travel agent tidak bisa mengembalikan tiket calon penumpang dengan uang tunai, karena minimnya angka penjualan dan masih terbebani pula dengan biaya operasional, sehingga tidak ada cash flow untuk kembali beroperasi kalau konsumen meminta pengembalian dalam bentuk dana tunai.
Pelaku usaha jasa perjalanan (travel agent) berharap konsumen dapat menahan diri untuk mengajukan pengembalian dana (refund) akibat rencana bepergiannya batal karena pandemi. Pihak maskapaipun tidak bisa memberikan refund yang diajukan oleh agen travel dalam bentuk cash tetapi dalam bentuk travel voucher.
Travel voucher adalah mem-preserve haknya konsumen untuk bisa digunakan di kemudian hari. Jadi ini sama saja dengan airlines itu menjaga haknya konsumen tanpa membangkrutkan diri mereka. Hal ini dilakukan karena maskapai menggunakan dana tersebut untuk biaya operasional yang terus berjalan, sedangkan jumlah penumpang nyaris tidak ada di tengah pandemi Covid-19.
Bila semua tiket perjalanan yang batal akibat pandemi harus dikembalikan dalam bentuk tunai, maka maskapai dan travel agent dapat bangkrut. Akibatnya, industri pariwisata butuh waktu yang lebih lama untuk kembali bangkit. Jangan sampai sektor ini collapse.
Kita di krisis COVID-19 ini bersama, bukan konsumen sendiri, airlines sendiri, travel agent sendiri, dan hotel sendiri. Nanti ketika sudah pulih dari Covid-19 kita pasti ingin liburan kembali. Jangan sampai pas mau liburan saat pandemi usai, pilihan maskapai dan hotel makin sedikit.
Penulis, Mahasiswa Program Doktor, Konsentrasi Service Management, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Trisakti