Warga menuangkan air dari bak penampungan yang ditaruh di pinggir jalan. (BP/istimewa)

NEGARA, BALIPOST.com – Kabupaten Jembrana selain memiliki pesisir panjang, juga memiliki kekayaaan alam hutan lindung di Melaya hingga Pekutatan. Dengan luas areal hutan yang luas (jimbar-wana), seharusnya kebutuhan air tidak menjadi persoalan.

Namun, meski berjuluk “Jimbar Wana,” masyarakat Jembrana masih ada yang kekurangan air saat musim kemarau. Fakta warga mencari air hingga ke sumber air bahkan sisa-sisa air hujan di sungai yang kering masih terjadi ketika musim kemarau.

Sebut saja di Sombang, Tukadaya, Manistutu, Berangbang, Pengambengan hingga Yehembang. Potret warga yang kesulitan air ketika kemarau masih terjadi.

Menurut Putu Bawa, salah satu aktivis perlindungan hutan di Jembrana, pemerintah harus hadir dan konsen menyediakan hak dasar masyarakat ini. Di beberapa titik, kondisi kekeringan ini sudah bertahun-tahun dan seperti menjadi tradisi. “Good Will dari pemerintah harus ada dalam hal penyediaan air bersih warga. Apalagi masalah ini sudah bertahun -tahun terjadi. Hutan (wana) sebagai sumber air harus dijaga dengan pohon keras untuk menyerap air,” ujarnya, Sabtu (3/4).

Baca juga:  Bencana Tanah Longsor Mendominasi, 16 Meninggal

Ia pun mengatakan tidak ada kata terlambat menanam pohon untuk anak cucu. Bawa mengungkapkan pentingnya hutan bagi masyarakat bukan hanya di hilir, tetapi untuk keberlangsungan anak cucu. Khususnya ketersediaan air bagi masyarakat, baik untuk air bersih, subak dan pertanian.

Sangat ironis ketika masih ada warga di Jembrana yang luas hutan, mengalami kekeringan bahkan kesulitan air bersih. Di satu sisi, banyak bermunculan perusahaan AMDK (air minum dalam kemasan) yang memanfaatkan air untuk konsumsi berbayar. “Hutan rusak, dampak konstruktif terjadi. Seperti banjir bandang yang belakangan ini hitungan jarak dua tahun terjadi,” kata aktivis yang menjalankan Hutan Belajar asal Yehembang ini.

Baca juga:  Made Sugita: Masalah Sampah di Bali Sudah “Urgent”, Pemerintah Harus Serius Tangani

Di saat musim kering, masyarakat justru kesulitan air dan berdampak bukan hanya di pertanian tapi juga konsumsi air bersih warga. Bawa berharap kesadaran masyarakat tumbuh. Bahwa ketika hutan sumber air rusak, maka kehidupan juga akan terganggu.

Perubahan sumber air di sejumlah wilayah di Jembrana sejatinya juga sudah diingatkan secara kultural. Sebut saja, ada berapa Pura Beji, yang dulu sumurnya banyak air sekarang kering tanpa air. Begitu juga pemandian-pemandian kuno, yang kini sudah jarang air.

Baca juga:  Bupati Giri Prasta Dukung Pemanfaatan Energi Terbarukan

“Di Candikusuma, dulu ada semacam pemandian dan airnya terus mengalir. Sekarang sudah tidak lagi,” ujar Ketut Dwi Antara, warga asal Moding, Candikusuma.

Air harus dijaga untuk masa depan anak cucu. Bukan hanya saat ini saja, tetapi beberapa generasi ke depan. Tidak ada kata terlambat untuk menanam pohon dan melestarikannya. (Surya Dharma/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *