DENPASAR, BALIPOST.com – Munculnya kasus kematian setelah krama Bali divaksinasi COVID-19 patut dijadikan pembelajaran bagi semua pihak. Mereka yang sudah divaksinasi bukan jaminan bebas atau kebal dari COVID-19.
Menurut pengamat masalah kesehatan, dr. Julius Daniel Tanasale, Sp.PD-KPTI, DTM&H, FINASEM, kemungkinan tubuh gagal membentuk antibodi ini akibat ketidaksabaran untuk menjalani protokol kesehatan (prokes) secara konsekuen. Sebab, setelah vaksinasi kedua, prokes 3M yakni memakai masker, mencuci tangan dan menghindari kerumunan tetap wajib dijalankan dengan disiplin tinggi baik di rumah maupun di luar rumah.
Secara teori, antibodi terbentuk dengan sempurna setelah 30 hari pascavaksinasi tahap kedua. “Salah satu kelompok yang berisiko tinggi terpapar COVID-19, pascavaksinasi yakni kaum lansia (lanjut usia, red),” ujar Julius Daniel, Senin (5/4).
Untuk itu, dokter penyakit dalam RS Puri Raharja ini meminta krama Bali mengawal keamanan para lansia di rumah pascavaksinasi. Caranya, perketat prokes lansia di rumah termasuk anggota keluarganya.
Termasuk, menghindari kerumunan dan kontak dengan anggota keluarga yang tak jelas riwayat kesehatannya. “Lansia sangat rentan terpapar COVID-19 pascavaksinasi,” katanya mengingatkan.
Terkait pro kontra pemakaian vaksin AstraZeneca yang ditunda di 17 negara Eropa, kata dia, perlu disikapi secara hati-hati. Digunakan atau tidak vaksin AstraZeneca itu sebaiknya diserahkan kepada pemeritah.
Soalnya, vaksin yang sudah disetujui penggunaannya oleh WHO ini secara klinis sudah memenuhi persyaratan. Namun jika ada kasus penggumpalan darah pascavaksinasi di Eropa, juga layak diperhatikan.
Sedangkan yang terakhir WHO sendiri menyarankan vaksin ini tetap bisa dijalankan dan di Indonesia perlu dilakukan dengan konsep kehati-hatian. “Secara medis wajar vaksin dievaluasi jika ada temuan baru. Namun, kita belum mengetahui apakah benar kematian akibat penggumpalan darah itu setelah divaksinasi atau akibat faktor lain,” tegasnya.
Julius Daniel menjelaskan, vaksin AstraZeneca ini adalah inisiasi dari WHO yang diberikan gratis ke semua negara. Indonesia termasuk mendapat kuota yang paling banyak yakni 20 persen dari jumlah penduduknya. “Semua vaksin wajib mengutamakan aspek keamanan dan bermutu. Kendati demikian, prinsip kehati-hatian tetap wajib diperhatikan. Jangan sampai, vaksin yang sebenarnya aman namun kita rugi tak bisa digunakan sesuai kuota karena kedaluwarsa Mei nanti. Bagi saya, serahkan urusan ini kepada pemerintah, dalam hal ini BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan, red),” katanya.
Kepada krama Bali yang memiliki warga lansia agar membantu para lansia yang belum tersasar vaksinasi massal bisa mendaftarkan di pusat-pusat pelayanan kesehatan terdekat. ‘’Jangan sampai ada lansia yang tercecer. Prinsipnya, jika lansia tidak terpapar penyakit kronis, mereka boleh divaksinasi,” tegasnya. (Sueca/balipost)